Di tengah bulan Puasa yang dilakukan oleh umat Muslim,
timbullah pertanyaan yang ditujukan kepada umat Kristen: “Apakah umat Kristen
menjalankan puasa?”
Asal perintah puasa dalam Perjanjian Lama tidak jelas, tercatat ketika Israel menghadapi Filistin mereka mengaku dosa dan berpuasa (1Sam.7:6). Sekalipun tidak disebut sebagai puasa, Musa tidak makan dan minum selama 40 hari (Kel.34:28). Ketika Nehemia mendengar situasi Yerusalem, ia berdoa dan berpuasa (Neh.1:4). Yoel menyuruh umat bertobat dan berpuasa (Yl.2:12). Banyak juga ayat-ayat lain yang menunjukkan praktek puasa dalam PL.
Dalam Perjanjian Baru puasa juga tercatat. Yesus hanya sekali tercatat berpuasa dengan tidak makan & minum 40 hari lamanya (Mat.4:2) sebagai persiapan menghadapi godaan dan ujian. Ketika Paulus dan Barnabas diutus mereka berpuasa (Kis.13:3). Puasa biasanya dikaitkan dengan penyesalan diri dalam pertobatan dan dikaitkan dengan doa dalam usaha mendekatkan diri lebih kepada Tuhan (1Raj.21:27;Mzm.35:13), atau meminta kuasa dalam memerangi setan (Mat.17:21;Mrk.9:29).
Sebagaimana banyak hal dalam syariat dimana arti rohaninya terkubur oleh penampakan lahir, demikian juga puasa sering merosot artinya. Bukannya ditujukan sebagai ekspresi pertobatan tetapi umat Israel menjadikannya sebagai tuntutan untuk memperoleh sesuatu (Yes.58:3) atau agar diperkenan Tuhan (Yes.58:5). Puasa sering merosot sekedar upacara ritual tanpa penyerahan diri kepada Tuhan (Za.7:5), dan menjadi perilaku yang munafik (Mat.16:6) demi untuk membenarkan diri sendiri (Luk.18:12).
Baik Musa maupun Yesus tidak makan dan minum selama 40 hari bukan karena syariat agama, namun sebagai masa persiapan menghadapi godaan dan ujian sebelum diutus, dan konteks saat itu menunjukkan suasana gurun dimana tidak tersedia makanan maupun minuman. Puasa dalam praktek Israel telah merosot menjadi kebiasaan legalistik pada hari-hari dan waktu tertentu tetapi sudah kehilangan maknanya, itulah sebabnya nabi Yesaya dengan keras menekankan arti puasa yang benar. Ia mengatakan bahwa Tuhan berfirman:
“Berpuasa yang kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang-orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes.58:6-7).
Sekalipun Yesus tidak makan dan minum 40 hari, ia tidak menyuruh murid-muridnya berpuasa, dan karena para murid tidak berpuasa mereka dicela oleh orang Farisi (Mrk.2:18), namun Yesus mengatakan bahwa puasa baru akan mereka lakukan bila Yesus telah pergi (Mrk.2:20). Jadi, puasa menurut Yesus bukan lagi syariat agama tetapi kebutuhan penyiapan batin secara khusus bila bertobat dan diperlukan dalam menghadapi masalah khusus seperti kepergiannya kelak atau dalam memerangi setan (Mat.17:21;Mrk.9:29).
Yesus tidak membenarkan orang Farisi yang menjalankan syariat agama termasuk berpuasa yang melakukannya dengan sombong, tetapi Ia membenarkan pemungut cukai yang kelihatannya tidak menjalankan puasa (Luk.18:9-14). Jadi, Yesus tidak menyuruh orang melakukan puasa tetapi tidak melarang bila orang melakukan puasa untuk maksud khusus.
Dari hal-hal di atas kita mengetahui bahwa puasa memiliki maksud yang dalam dan khusus dalam menguasai batin seseorang dalam hubungan dengan Tuhannya yang suci dan benar, namun puasa cenderung merosot sekedar suatu legalisme agama dalam bentuk syariat lahir tanpa isi. Yesaya dengan jelas memberitahukan umat Israel (Yes.58) bahwa orang bisa saja tidak melakukan puasa lahir tetapi yang harus dilakukan adalah melakukan puasa batin, yaitu berpuasa dari kelaliman, menganiaya dan memperbudak orang. Berpuasa dari mengenyangkan diri sendiri menjadi memberi makan orang lapar, tidak punya rumah, dan yang telanjang (band. Mat.24:31-46).
Yesus juga tidak mengajarkan orang untuk berpuasa, bahkan tidak membenarkan orang sombong sekalipun ia berpuasa, tetapi Yesus juga tidak melarang orang berpuasa. Jadi puasa itu pada dirinya sendiri tidak memiliki arti bila bukan merupakan ungkapan hati yang bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah.
Perlu disadari bahwa penebusan Yesus di atas kayu salib telah menggenapi syariat taurat Perjanjian Lama yang bergantung pada usaha manusia menyelamatkan diri sendiri dengan melakukan syariat agama secara tertib (sunat, korban, sabat, puasa, halal-haram dll.), menjadi kasih karunia Allah yang diberikan kepada setiap orang yang percaya dan bertobat (Yoh.3:16;Efs.2:8-10). Karunia Allah ini menjadi sempurna dengan datangnya ‘Roh Kudus’ yang akan menguatkan dan mendiami umat percaya yang digenapi pada hari Pentakosta (Kis.2).
Dari ajaran Yesus ini, menjawab pertanyaan “apakah umat Kristen menjalankan puasa?” Jawabannya adalah ‘tidak’ dan ‘ya’, artinya umat Kristen (kecuali Katolik) ‘tidak’ menjalankan puasa sebagai syariat agama ritual pada waktu-waktu tertentu dan yang ditetapkan, dan ‘ya’ bahwa sewaktu-waktu umat Kristen bisa saja menjalankan puasa, dalam menghadapi event-event khusus, dengan sungguh-sungguh atas kemauannya sendiri. Puasa adalah ungkapan lahir dari hati yang bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah. Dan ungkapan lahir tidak berarti bila yang diungkapkan tidak ada, sebaliknya tanpa ungkapan lahir juga tidak menjadi soal selama yang diungkapkan itu ada, sebab inilah hakekat puasa yang sebenarnya.
Asal perintah puasa dalam Perjanjian Lama tidak jelas, tercatat ketika Israel menghadapi Filistin mereka mengaku dosa dan berpuasa (1Sam.7:6). Sekalipun tidak disebut sebagai puasa, Musa tidak makan dan minum selama 40 hari (Kel.34:28). Ketika Nehemia mendengar situasi Yerusalem, ia berdoa dan berpuasa (Neh.1:4). Yoel menyuruh umat bertobat dan berpuasa (Yl.2:12). Banyak juga ayat-ayat lain yang menunjukkan praktek puasa dalam PL.
Dalam Perjanjian Baru puasa juga tercatat. Yesus hanya sekali tercatat berpuasa dengan tidak makan & minum 40 hari lamanya (Mat.4:2) sebagai persiapan menghadapi godaan dan ujian. Ketika Paulus dan Barnabas diutus mereka berpuasa (Kis.13:3). Puasa biasanya dikaitkan dengan penyesalan diri dalam pertobatan dan dikaitkan dengan doa dalam usaha mendekatkan diri lebih kepada Tuhan (1Raj.21:27;Mzm.35:13), atau meminta kuasa dalam memerangi setan (Mat.17:21;Mrk.9:29).
Sebagaimana banyak hal dalam syariat dimana arti rohaninya terkubur oleh penampakan lahir, demikian juga puasa sering merosot artinya. Bukannya ditujukan sebagai ekspresi pertobatan tetapi umat Israel menjadikannya sebagai tuntutan untuk memperoleh sesuatu (Yes.58:3) atau agar diperkenan Tuhan (Yes.58:5). Puasa sering merosot sekedar upacara ritual tanpa penyerahan diri kepada Tuhan (Za.7:5), dan menjadi perilaku yang munafik (Mat.16:6) demi untuk membenarkan diri sendiri (Luk.18:12).
Baik Musa maupun Yesus tidak makan dan minum selama 40 hari bukan karena syariat agama, namun sebagai masa persiapan menghadapi godaan dan ujian sebelum diutus, dan konteks saat itu menunjukkan suasana gurun dimana tidak tersedia makanan maupun minuman. Puasa dalam praktek Israel telah merosot menjadi kebiasaan legalistik pada hari-hari dan waktu tertentu tetapi sudah kehilangan maknanya, itulah sebabnya nabi Yesaya dengan keras menekankan arti puasa yang benar. Ia mengatakan bahwa Tuhan berfirman:
“Berpuasa yang kukehendaki, ialah supaya engkau membuka belenggu-belenggu kelaliman, dan melepaskan tali-tali kuk, supaya engkau memerdekakan orang-orang yang teraniaya dan mematahkan setiap kuk, supaya engkau memecah-mecahkan rotimu bagi orang yang lapar dan membawa ke rumahmu orang miskin yang tak punya rumah, dan apabila engkau melihat orang telanjang, supaya engkau memberi dia pakaian dan tidak menyembunyikan diri terhadap saudaramu sendiri!” (Yes.58:6-7).
Sekalipun Yesus tidak makan dan minum 40 hari, ia tidak menyuruh murid-muridnya berpuasa, dan karena para murid tidak berpuasa mereka dicela oleh orang Farisi (Mrk.2:18), namun Yesus mengatakan bahwa puasa baru akan mereka lakukan bila Yesus telah pergi (Mrk.2:20). Jadi, puasa menurut Yesus bukan lagi syariat agama tetapi kebutuhan penyiapan batin secara khusus bila bertobat dan diperlukan dalam menghadapi masalah khusus seperti kepergiannya kelak atau dalam memerangi setan (Mat.17:21;Mrk.9:29).
Yesus tidak membenarkan orang Farisi yang menjalankan syariat agama termasuk berpuasa yang melakukannya dengan sombong, tetapi Ia membenarkan pemungut cukai yang kelihatannya tidak menjalankan puasa (Luk.18:9-14). Jadi, Yesus tidak menyuruh orang melakukan puasa tetapi tidak melarang bila orang melakukan puasa untuk maksud khusus.
Dari hal-hal di atas kita mengetahui bahwa puasa memiliki maksud yang dalam dan khusus dalam menguasai batin seseorang dalam hubungan dengan Tuhannya yang suci dan benar, namun puasa cenderung merosot sekedar suatu legalisme agama dalam bentuk syariat lahir tanpa isi. Yesaya dengan jelas memberitahukan umat Israel (Yes.58) bahwa orang bisa saja tidak melakukan puasa lahir tetapi yang harus dilakukan adalah melakukan puasa batin, yaitu berpuasa dari kelaliman, menganiaya dan memperbudak orang. Berpuasa dari mengenyangkan diri sendiri menjadi memberi makan orang lapar, tidak punya rumah, dan yang telanjang (band. Mat.24:31-46).
Yesus juga tidak mengajarkan orang untuk berpuasa, bahkan tidak membenarkan orang sombong sekalipun ia berpuasa, tetapi Yesus juga tidak melarang orang berpuasa. Jadi puasa itu pada dirinya sendiri tidak memiliki arti bila bukan merupakan ungkapan hati yang bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah.
Perlu disadari bahwa penebusan Yesus di atas kayu salib telah menggenapi syariat taurat Perjanjian Lama yang bergantung pada usaha manusia menyelamatkan diri sendiri dengan melakukan syariat agama secara tertib (sunat, korban, sabat, puasa, halal-haram dll.), menjadi kasih karunia Allah yang diberikan kepada setiap orang yang percaya dan bertobat (Yoh.3:16;Efs.2:8-10). Karunia Allah ini menjadi sempurna dengan datangnya ‘Roh Kudus’ yang akan menguatkan dan mendiami umat percaya yang digenapi pada hari Pentakosta (Kis.2).
Dari ajaran Yesus ini, menjawab pertanyaan “apakah umat Kristen menjalankan puasa?” Jawabannya adalah ‘tidak’ dan ‘ya’, artinya umat Kristen (kecuali Katolik) ‘tidak’ menjalankan puasa sebagai syariat agama ritual pada waktu-waktu tertentu dan yang ditetapkan, dan ‘ya’ bahwa sewaktu-waktu umat Kristen bisa saja menjalankan puasa, dalam menghadapi event-event khusus, dengan sungguh-sungguh atas kemauannya sendiri. Puasa adalah ungkapan lahir dari hati yang bertobat dan merendahkan diri di hadapan Allah. Dan ungkapan lahir tidak berarti bila yang diungkapkan tidak ada, sebaliknya tanpa ungkapan lahir juga tidak menjadi soal selama yang diungkapkan itu ada, sebab inilah hakekat puasa yang sebenarnya.
No comments:
Post a Comment