Jika kita
memperhatikan bagian Firman Tuhan ini dengan teliti, maka kita akan melihat
suatu konteks yang jelas di mana hal ini diawali dari ajaran Yesus tentang
menasihati sesama saudara (18:15-20). Di sanaYesus mengajarkan bahwa apabila ada orang yang
berdosa, maka harus ada 3 tahapan di dalam menanganinya yaitu :
1) Menegur dia secara pribadi (15)
2) Menegur dia dengan bantuan beberapa orang (16)
3) Dibawa ke depan sidang jemaat (17)
Setelah Yesus mengajarkan
hal itu, maka datanglah Simon Petrus dengan pertanyaan-nya : “Tuhan, sampai berapa kali aku
harus mengampuni saudara-saudaraku jika ia ber-buat dosa terhadap aku?” (21) Jadi rupanya pengajaran
Yesus inilah yang menjadi penyebab munculnya pertanyaan Petrus. Coba kita
perhatikan ayat 15 “apabila saudaramu berbuat
dosa…” dan pertanyaan Petrus “sampai
berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa…” (21). Kata “saudara” yang muncul baik dalam
pengajaran Yesus maupun pertanyaan Petrus memberikan keterangan bahwa
sebenarnya hal pengampunan itu dibicarakan dalam konteks relasi dengan sesama
saudara seiman. Ini dikuatkan dengan adanya sidang jemaat yang terlibat dalam
menasihati orang berdosa tersebut (17). Menanggapi pertanyaan Petrus ini
terutama pertanyaan lanjutannya “…sampai tujuh kali?” Yesus berkata “bukan tujuh kali melainkan tujuh puluh kali tujuh
kali” (490 kali).
Mungkin menarik
juga untuk dipikirkan bahwa Petrus memakai jumlah tujuh untuk pertanyaannya “sampai tujuh kali?” Penggunaan angka tujuh dan kelipatannya (seperti
angka 40) adalah hal yang lazim dalam masyarakat Yahudi antara lain seperti pada hari ketujuh Allah
berhenti dan menguduskan ciptaan-ciptaan-Nya (Kej 2:2), Yesus mengutus 70 murid
(Luk 10:1-12), Yesus mengucapkan 7 perkataan di atas kayu salib, dan jemaat
mula-mula memilih 7 orang diaken untuk membantu pelayanan mereka (Kis 6:1-7).
Kemungkinan penggunaan angka 7 ini didasarkan pada perhitungan mingguan di mana
ada 7 hari dalam seminggu, dan ini dikaitkan dengan pengudusan ciptaan oleh
Allah pada hari ke tujuh. Jika demikian maka pertanyaan Petrus “sampai tujuh kali?” mungkin adalah pertanyaan yang mewakili kurun waktu
seminggu di mana dalam satu hari harus mengampuni satu kali.
Tetapi apakah
jawab Yesus? Yesus berkata “…bukan sampai tujuh kali
melainkan tujuh puluh kali tujuh kali” (490 kali). Melihat konteks di atas maka sebenarnya
Yesus ingin berkata bahwa Petrus harus mengampuni 70 kali dalam sehari. Kalau
dalam sehari harus mengampuni 70 kali maka setiap jam harus mengampuni sebanyak
2,9166 kali (3 kali). Mungkinkah kita mengampuni 3 kali dalam satu jam?
Mungkin! Tetapi mungkinkah ada orang yang sama yang dalam setiap jam berbuat
tiga kali kesalahan terhadap kita dalam satu minggu? Tidak mungkin! Tetapi
seandai pun ada kita harus mengampuninya. Hal ini haruslah membawa kita kepada
kesimpulan bahwa sebenarnya Yesus ingin berkata bahwa tidak ada kemungkinan
bagi Petrus (termasuk kita) untuk tidak mengampuni orang yang bersalah kepada
kita walaupun ia bersalah 3 kali dalam setiap jam selama seminggu. Hal ini jelas kontras
dengan pengalaman hidup kita sehari-hari. Kebanyakan orang biasanya memberikan
batasan pengampunan sebanyak 3 kali saja untuk selamanya. “Kalau satu kali saya ampuni,
dua kali saya ampuni, tiga kali? Tidak ada ampun bagimu!” Jika kita renungkan ajaran Yesus ini maka sungguh
betapa jauhnya kita dari apa yang diharapkanNya.
Selanjutnya untuk
memperdalam aja-ran-Nya tentang pengampunan ini, Yesus memberikan satu contoh
ilustrasi seperti yang tercatat dalam ayat 23-35. Di sana diceritakan bahwa seorang hamba
berhutang pada rajanya sebesar 10.000 talenta (1 talenta = 6000 dinar, dan 1
dinar = Rp.750,00. Jadi hutangnya kira-kira 45
milyar rupiah). Tentu ini adalah jumlah yang sangat besar bukan hanya pada masa
itu tetapi juga pada masa kini. Karena tidak dapat melunasi hutangnya maka sang
raja berniat untuk menjualnya beserta dengan anak, istri dan milik-miliknya
demi pelunasan hutangnya. Menghadapi hal ini maka hamba itu menyembah dan
merendahkan diri di hadapan raja dan memohon belas kasihan serta perpanjangan
waktu, dan rupanya hal itu menimbulkan belas kasihan sang raja dan akhirnya
semua hutang hamba itu dihapuskan.
Setelah
mendapatkan pengampunan dan pembebasan dari raja, hamba itu pergi dan bertemu
dengan seorang teman yang berhu-tang kepadanya 100 dinar (kira-kira
Rp.7.500,00). Ia mencekik kawannya itu dan memaksanya untuk membayar hutangnya.
Meskipun kawannya itu telah memohon perpanjangan waktu dan belas kasihan
(seperti yang dilakukannya pada raja) tetapi ia menolak dan menjebloskan
kawannya itu ke dalam penjara. Rupanya perbuatannya itu diketahui oleh raja
hingga mendatangkan murkanya dan ia menyerahkan orang tersebut (hamba yang
pertama) ke tangan algojo-algojo sampai ia dapat melunasi hutang-hutangnya
karena ia tidak membebaskan dan mengampuni kawan-nya sebagaimana ia telah
di-bebaskan dan diampuni oleh raja. Demikianlah perumpamaan yang dipakai Yesus
untuk menjelaskan pengajaran-Nya tentang pengampunan.
Dengan melihat
cerita di atas dan dikaitkan dengan jawaban Yesus atas pertanyaan Petrus, maka
kita dapati kebenaran bahwa pengampunan Kritiani itu adalah pengam-punan tanpa
batas baik menyangkut kualitas maupun kuantitas pelanggaran, dosa dan kesalahan
saudara-saudara kita. Pengampunan semacam ini di dasarkan pada dua
pertim-bangan :
Pertimbangan
teologis
Jika kita melihat
kesimpulan dari peng-ajaran Yesus yang tercatat dalam ayat 35, maka kita tentu
tahu bahwa sang raja dalam cerita Yesus itu adalah gambaran Bapa yang di sorga
dan hamba-hambanya adalah kita sebagai sesama manusia. Yang diinginkan raja itu
(Bapa di sorga) adalah kita harus mengampuni saudara-saudara kita yang bersalah
kepada kita karena kita telah diampuni terlebih dahulu oleh Bapa yang di sorga
sebagaimana hamba itu telah diampuni oleh sang raja. Inilah pertimbangan
teologis.
Dengan kata lain
yang diinginkan oleh Tuhan ialah kita yang telah diampuni olehNya dapat menjadi
saluran pengam-punan itu kepada sesama kita. Tuhan sudah mengampuni kita, dan
kita wajib mengampuni orang lain.
Jika kita
bandingkan hutang hamba yang pertama itu kepada raja yakni 10.000 talenta (45
milyar rupiah) dengan hutang hamba yang kedua kepada hamba yang per-tama yaitu
100 dinar (Rp. 7.500,00), maka terlihat betapa jauhnya jumlah perbandingannya.
Rupanya Yesus ingin katakan lewat cerita ini bahwa sebesar apapun dosa orang
lain terhadap kita, masih lebih besar dosa kita kepada Tuhan. Sekalipun demikian Tuhan mau mengampuni kita.
Mengapa kita tidak mau mengampuni sesama kita?
Seorang jemaat pernah
datang kepada saya dan menceritakan masalahnya di mana ia sulit untuk
mengampuni mertuanya yang sering mencuri uang dari tokonya. Ia berkata kepada
saya “saya tahu bahwa saya harus
mengampuni. Saya tahu bahwa Yesus me-ngajarkan kita untuk mengampuni tujuh
puluh kali tujuh kali, tetapi kalau mengingat perlakuan mertua saya semacam
itu, saya tidak mampu mengampuninya. Bukan saya tidak mau mengampuni, tetapi saya tidak
mampu” . Terus terang saya agak bingung
menghadapi maslah semacam ini sebab ini bukanlah menghadapi orang yang tidak mau mengampuni tetapi orang yang tidak mampu mengampuni. Saya hanya memberikan
kepadanya beberapa masukan dan berjanji kepadanya bahwa beberapa hari lagi saya
akan menemuinya dan membicarakan hal ini lagi. Sepanjang tiga hari saya berdoa
untuk masalah ini, dan akhirnya saya mendapatkan suatu formula yang ampuh dari
Tuhan. Saya menemui orang itu dan berkata kepadanya “alasan utama ibu tidak
dapat mengampuni mertua ibu adalah karena fokus pikiran ibu terarah kepada
kesalahan mertua kepada ibu dan bukannya kesalahan-kesalahan ibu (dulu)
terhadap Tuhan yang telah diampuni olehNya. Ibu begitu mengingat kesalahan
mertua pada ibu sehingga ibu menjadi lupa akan kesalahan-kesalahan ibu kepada
Tuhan (yang telah diampuni). Ibu lupa bahwa kesalahan mertua kepada ibu tidak
sebanding dengan kesalahan ibu pada Tuhan. Kesalahan mertua pada ibu membuat
ibu kehilangan materi (uang), tetapi kesalahan ibu kepada Tuhan membuat Yesus
harus kehilangan nyawa-Nya. Kesalahan mertua pada ibu membuat ibu mengalami
kerugian sekian juta rupiah, tetapi kesalahan ibu kepada Tuhan membuat Yesus
harus tergantung di atas kayu salib. Besar manakah? Kesalahan mertua pada ibu
atau kesalahan ibu pada Tuhan? Sekalipun demikian Tuhan telah mengampuni ibu.
Mengapa ibu tidak mau mengampuni mertua ibu? Persoalan ibu sebenarnya bukanlah
tidak mampu tetapi tidak mau! Fokuskan pikiran ibu pada pe-ngampunan Tuhan yang
telah ibu terima dan buka hati ibu agar Roh Kudus memampukan ibu untuk
mengampuni” Puji Tuhan, beberapa minggu kemudian ia bertemu dengan saya dan
berkata bahwa ia hampir dapat mengampuni mertuanya.
Jika kita
mempunyai pertimbangan teologis bahwa :
1) Dosa atau kesalahan kita kepada Tuhan lebih besar
dari dosa atau kesalahan sesama kepada kita.
2) Tuhan telah mengampuni dosa kita yang besar itu
Maka tidak ada
alasan untuk tidak mengampuni orang yang bersalah kepada kita.
Pertimbangan
sosiologis
Yang menjadi
pertimbangan sosiologis di sini adalah bahwa ketidakmauan untuk mengampuni
dapat merusak nilai-nilai sosial yang ada dalam setiap relasi kita baik relasi
dengan Tuhan, dengan sesama dan dengan diri sendiri.
Dalam cerita Tuhan
Yesus tadi, hamba pertama yang tidak dapat mengampuni kawannya tanpa sadar
telah merusak nilai-nilai sosial dalam relasinya di mana relasinya dengan raja,
kawannya dan dirinya sendiri menjadi hancur. Yesus ingin berkata bahwa jika
kita tidak mengampuni sesama kita maka :
Relasi
kita dengan Tuhan menjadi rusak
Mengapa? Tuhan
ialah Ia yang mempunyai hak penuh untuk tidak mengampuni. Sekalipun demikian Ia
mau mengampuni kita, sedangkan kita yang tidak mempunyai hal untuk sama sekali
untuk tidak mengampuni tidak mau mengampuni sesama kita. Itu berarti bahwa kita
secara sengaja menem-patkan diri di atas Allah. Dengan kata lain dengan tidak
mengampuni kita telah mening-gikan diri di hadapan Allah dan jelas ini merusak
relasi denganNya.
Selain itu pula
seperti yang telah di-singgung sedikit di atas bahwa sebenarnya Tuhan
menginginkan agar kita menjadi saluran pengampunan yang telah kita terima dari
Allah, tetapi dengan tidak mengampuni maka kita telah salah memanfaatkan
pengam-punan yang telah kita terima itu.
Relasi
kita dengan sesama menjadi rusak
Selama kita tidak
mau mengampuni orang lain, maka selama itu pula relasi kita dan sesama menjadi
rusak. Ilustrasi Yesus menceritakan bahwa karena tidak mau mengampuni, maka
hamba yang pertama itu mencekik temannya dan menje-bloskannya ke dalam penjara.
Mungkin se-belum peristiwa itu mereka adalah sahabat karib, tetapi ketidakmauan
untuk mengam-puni menyebabkan persahabatan mereka menjadi hancur. Ada berapa banyak per-sahabatan,
persaudaraan yang hancur karena ketiadaan kemauan untuk mengampuni?
Relasi
kita dengan diri sendiri menjadi rusak
Akibat lain yang
tidak kalah parahnya dari ketidakmauan untuk mengampuni adalah rusaknya relasi
kita dengan diri sendiri. Ketika kita tidak mau mengampuni, maka kita sementara
melakukan 2 hal yaitu :
a. Kita membatalkan pengampunan
yang telah kita terima dari Tuhan
Hamba yang pertama
tadi telah menerima pengampunan dan pembebasan dari raja, tetapi akhirnya
pengampunan dan pembebasan itu dicabut kembali dan malah ia diserahkan kepada
algojo-algojo (disiksa) karena ia tidak mau mengampuni temannya. Ini adalah
suatu korelasi yang menarik antara mengampuni dan diampuni di mana di satu sisi
kita harus mengampuni karena kita telah diampuni,tetapi di sisi yang lain kita
harus mengampuni agar kita diam-puni/tidak kehilangan pengampunan. Itulah
sebabnya dalam doa “Bapa kami”yang diajarkan Yesus berbunyi “dan ampunilah kami akan kesalahan kami
seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Mat 6:12). Jadi pengampunan terhadap orang lain menjadi
syarat diampuni oleh Allah sebagaimana tercatat dalam Mat 6:14-15 :“Karena
jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni
kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni kesalahan orang, Bapamu juga
tidak akan mengampuni kesalahanmu”
Beberapa tahun
yang lalu di Kentucky ada seorang bernama Sam Holmes yang dihukum karena
melakukan pembunuhan. Pada saat ia menantikan pelaksanaan hu-kumannya, seorang
temannya yang ber-nama Lucien Young mendatangi gubernur dan memintakan
pengampunan baginya. Setelah permohonannya dikabulkan, ia segera pergi ke
penjara untuk membawa kabar baik itu. Sebelum menceritakan tentang pembebasan
itu Young terlebih dahulu bertanya kepada Holmes “jika engkau dibebaskan dari penjara ini, apakah
yang akan engkau lakukan pertama kali?” Tanpa berpikir panjang lagi Holmes segera berkata “aku akan pulang lalu membunuh
saksi yang telah menuduhku dan hakim yang telah menghukumku” Young sangat sedih mendengarkan
perkataan tersebut dan meninggalkan penjara itu tanpa mem-beritahukan
pengampunan dari gubernur dan ia menangis di luar penjara. Holmes kehilangan
pengampunan yang diberikan kepadanya karena ia tidak mau belajar mengampuni
orang lain. Jangan rugikan diri kita sendiri dengan tidak mau mengampuni orang
lain.
b. Kita memelihara “penyakit”
berbahaya di dalam diri kita.
Dengan tidak
mengampuni orang lain, maka itu berarti kita menyimpan dendam, sakit hati,
amarah dan kedengkian di dalam hati kita untuk orang tersebut. Ketika ada
dendam, sakit hati, amarah dan kedengkian dalam hati kita, maka yang mengalami
kerugian besar bukanlah orang yang ke-padanya kita menyimpan dendam, amarah dan
kedengkian itu melainkan diri kita sendiri sebab dendam, amarah dan kedeng-kian
itu laksana penyakit mematikan yang sulit dicari obatnya.
Beberapa tahun
yang lalu seorang teman saya sempat melayani seorang yang sakit lumpuh sudah 4
tahun. Setelah dilayani secara pribadi ternyata ia se-mentara menyimpan dendam
terhadap temannya kira-kira selama 6 tahun. Setelah dibereskan dari dendam dan
didoakan maka saat itu juga ia sembuh dan dapat berjalan seperti biasanya. Ini
adalah sebagian kecil dari penyakit fisik yang diakibatkan dari penyakit rohani yang berupa
dendam, amarah dan kedengkian itu.
Jangan rugikan
diri kita sendiri dengan menyimpan dendam, amarah dan kedeng-kian terhadap
orang lain sebab hal itu laksana membakar rumah kita sendiri demi mengusir
seekor tikus. Berilah pengam-punan bukan hanya untuk kebaikan orang lain tetapi demi kebaikan kita juga.
Amen...sesuai dengan firman Tuhan..Efesus1:7-8
ReplyDelete7 Sebab di dalam Dia dan oleh darah-Nya kita beroleh penebusan, yaitu pengampunan dosa, menurut kekayaan kasih karunia-Nya,
8 yang dilimpahkan-Nya kepada kita dalam segala hikmat dan pengertian.