“Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.”
(Rm. 12:9)
Surat Roma adalah salah satu kitab di dalam Alkitab yang paling berpengaruh di dalam sejarah gereja. Bapa Gereja Augustinus bertobat setelah membaca surat ini. Begitu juga reformator, Dr. Martin Luther kembali menemukan kebenaran bahwa manusia dibenarkan melalui iman pun ketika dia menyelidiki Surat Roma. Surat ini ditulis oleh Rasul Paulus kira-kira pada tahun 55 atau 56 Masehi. (The Wycliffe Bible Commentary Vol. 3, 2008, hlm. 509) Surat ini ditujukan kepada orang Yahudi dan Yunani yang tinggal di Roma dan berisikan dasar-dasar iman Kristen tentang Allah, kesucian-Nya, dosa manusia, keselamatan di dalam Kristus, pengudusan, dan kehidupan Kristen sebagai aplikasi doktrin yang telah mereka pelajari. Biasanya surat ini dibagi menjadi 2 bagian pembahasan, yaitu: pembahasan doktrin (Rm. 1 s/d 11) dan pembahasan aplikasi dari doktrin (Rm. 12 s/d 16). Pada bagian pertama yaitu di Roma 1 s/d 11, Rasul Paulus membahas doktrin dosa dan keselamatan dengan menelusuri Perjanjian Lama dan diakhiri dengan suatu kesimpulan final bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah, dan untuk Allah, bagi Dia kemuliaan selama-lamanya (Rm. 11:36). Kesimpulan tersebut merupakan kesimpulan tentang sangat agungnya keselamatan yang telah Allah berikan bagi umat-Nya dan tentu saja kesimpulan ini juga berlaku bagi seluruh kehidupan Kristen yang seharusnya memusatkan hidup mereka pada anugerah dan kemuliaan-Nya. Oleh karena itulah, konsep bahwa segala sesuatu adalah dari Allah, oleh Allah diimplikasikan oleh Paulus di dalam seluruh aspek kehidupan Kristen sehari-hari. Implikasi ini dimulai dari konsep ibadah sejati yang menyeluruh yang berpusat pada Allah di Roma 12:1-2. Di dalam ibadah tersebut, kita sebenarnya sedang melayani Allah. Oleh karena itu, kemudian, ia mengimplikasikan konsep kemuliaan Allah di dalam pelayanan yang saling melengkapi di dalam Kerajaan Allah di Roma 12:3-8. Di dalam pelayanan pun, salah satu unsur yang perlu diperhatikan adalah kasih. Tanpa kasih, tidak mungkin ada orang yang mau melayani. Tanpa kasih pula, pelayanan kita tidak akan benar-benar memuliakan-Nya, karena pelayanan kita akan dikuasai oleh semangat kompetisi dan keegoisan. Karena alasan itulah, Paulus menjelaskan ulang konsep kasih yang berpusat kepada Allah mulai ayat 9 s/d 20. Pada kali ini, kita tidak akan membahas keduabelas ayat tersebut, namun hanya mengkhususkannya di ayat 9 sebagai bahan renungan kita tentang kemunafikan, lalu bagaimana kita bisa keluar dari kemunafikan kita dengan kembali kepada kasih yang berpusat pada Allah.
Bukan suatu kebetulan, Rasul Paulus mendefinisikan tentang kasih dengan mengaitkannya pertama-tama dengan kepura-puraan atau kemunafikan. Di ayat 9, ia mengajar, “Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik.” Di dalam terjemahan Yunani, kata “hendaklah” tidak ditemukan, namun di dalam beberapa terjemahan Inggris, kata ini diterjemahkan let (=biarlah) dan ada juga terjemahan Inggris lain yang tidak menerjemahkannya. Dr. John Gill di dalam tafsirannya John Gill’s Exposition of the Entire Bible menafsirkan bahwa ayat ini adalah berupa nasihat/dorongan (exhortation). Tentunya karena ini merupakan nasihat/dorongan, maka ini bukan paksaan. Lalu, setelah “hendaklah”, Paulus menyambung dengan kata “kasih.” Kasih apakah yang Paulus maksudkan? Bahasa Indonesia tidak jelas mendefinisikannya, begitu juga bahasa Inggris. Ketika kita menyelidiki bahasa Yunaninya, kata yang dipergunakan adalah agapē yang berarti unconditional love (kasih yang tidak bersyarat) dan jenis kasih ini adalah kasih yang tertinggi yang hanya pantas diperuntukkan untuk kasih Allah bagi umat-Nya.
Dari penjelasan di atas, kita belajar bahwa kasih agapē ini BUKAN suatu keharusan yang memaksa, tetapi suatu nasihat yang membebaskan. Mengapa demikian? Karena kasih dan mengasihi (konteks: agapē) merupakan suatu hal yang keluar dari hati yang terdalam. Allah mengasihi manusia dengan kasih agapē dan kasih ini telah ditunjukkan-Nya dengan sempurna melalui karya penebusan Kristus di kayu salib. Kasih agapē tersebut keluar dari hati Allah yang terdalam dan termurni. Seorang Kristen yang telah dikasihi dan ditebus-Nya seharusnya merespons kasih-Nya tersebut dengan mengasihi Allah dan sesama dengan kasih yang tak bersyarat atau kasih yang murni. Jangan pernah memaksa seseorang untuk mengasihi orang lain apalagi memaksa seseorang mengasihi Allah, karena itu tidak akan berguna apa-apa, bahkan mungkin sekali orang yang kita paksa untuk mengasihi itu memiliki kasih yang pura-pura. Oleh karena itu, maka Paulus melanjutkan, “kasih itu jangan pura-pura!” Pernyataan “jangan pura-pura” memiliki beragam arti di dalam terjemahan Inggris maupun bahasa Yunaninya. English Standard Version (ESV) menerjemahkannya, “Let love be genuine.” (=biarlah kasih itu sungguh-sungguh) International Standard Version (ISV) menerjemahkannya, “Your love must be without hypocrisy.” (=Kasihmu harus tanpa kemunafikan.) King James Version (KJV) menerjemahkannya, “Let love be without dissimulation.” (=Biarlah kasih itu tanpa topeng/berpura-pura.) New International Version (NIV) menerjemahkannya, “Love must be sincere.” (=Kasih harus tulus.) Terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah “Kasih itu bukan yang berpura-pura.” (Hasan Sutanto, Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia, 2006, hlm. 864) Dari beragam terjemahan ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa kasih itu tidak boleh berpura-pura atau kasih itu tidak boleh munafik. Apa itu munafik? Mengapa dikontraskan dengan kasih? Mari kita menyelidikinya.
Menurut NIV Spirit of the Reformation Study Bible, kata “munafik” yang diterjemahkan dalam bahasa Inggris sebagai hyprocrisy berasal dari kata hypocrites (aktor) di dalam drama Yunani kuno yang menggunakan topeng. Dengan kata lain, si hipokrites/aktor yang bermain dalam drama ini menggunakan topeng. Nah, melalui ayat ini, Paulus hendak mengajar jemaat Roma dan kita bahwa kasih agapē bukanlah kasih yang bertopeng seperti demikian. Ketika kita berbicara mengenai topeng, kita sebenarnya berbicara mengenai kepalsuan. Di dalam dunia yang kita hidupi ini, sudah terlalu banyak kepalsuan yang kita tonton dan perhatikan. Mulai dari film, drama, dll, kita menjumpai beraneka ragam kepalsuan. Tidak jarang di dalam dunia realitas, kita menjumpai kepalsuan ini bahkan di dalam diri banyak orang Kristen. Mereka aktif ke gereja, suka menghadiri seminar dan acara-acara rohani, namun mereka hidup di dalam kepalsuan. Atau dengan kata lain, mereka bermuka dua. Di hadapan semua orang, orang seperti ini bisa kelihatan baik, alim, dll, tetapi ketika tidak ada orang yang memperhatikan, ia bisa berlaku sebaliknya. Di hadapan orang tertentu, ia bisa menyanjung orang tersebut, namun sayangnya, ketika orang tertentu itu telah pergi, ia bisa mengata-ngatai orang tertentu kepada orang lain. Ya, hidup di dalam topeng berarti hidup di dalam kepalsuan dan hidup di dalam kepalsuan ditandai dengan bermuka dua. Tetapi, pertanyaan selanjutnya adalah mengapa bisa demikian?
Ada beberapa alasan mengapa orang (bahkan banyak orang “Kristen”) munafik:
1. Tidak Rendah Hati
Seorang Kristen yang munafik pertama-tama harus diragukan status Kekristenannya. Dengan kata lain, apakah benar seorang Kristen yang munafik benar-benar seorang pengikut Kristus sejati ataukah sebenarnya orang “Kristen” palsu (meminjam istilah Pdt. Dr. Stephen Tong, anak setan yang masih indekos di dalam gereja)? Dengan mengatakan hal ini, saya TIDAK bermaksud langsung menghakimi bahwa orang “Kristen” munafik pasti bukan anak Tuhan sejati. Mungkin sekali ada orang Kristen sungguh-sungguh yang munafik, tetapi jikalau itu pun ada, kemunafikan itu tidak akan berlangsung lama, karena Roh Kudus akan terus-menerus memurnikan hidupnya. Kembali, mengapa saya bisa berkata bahwa orang “Kristen” munafik adalah orang “Kristen” palsu? Mari kita lihat perbedaannya. Orang Kristen yang sungguh-sungguh adalah orang Kristen yang rendah hati. Orang disebut Kristen BUKAN dilihat dari seberapa dia aktif ke gereja atau mengikuti acara rohani, tetapi dilihat dari sampai seberapa rendah hatinya ia di hadapan Allah dan kebenaran firman-Nya. Kerendahan hati itu ditunjukkan dengan keterbukaan hatinya untuk mau dikoreksi oleh firman dan otomatis berkomitmen menjalankan firman Tuhan tersebut di dalam setiap aspek kehidupannya. Saya menyebutnya sebagai: TAAT DI DALAM PROSES PENGUDUSAN ROH KUDUS. Artinya, kerendahan hati membuahkan sikap taat dan itu bisa dimungkinkan melalui pencerahan dan pengudusan yang Roh Kudus kerjakan di dalam hati umat pilihan-Nya. Sedangkan orang “Kristen” palsu adalah orang yang tidak rendah hati, namun sombong. Kesombongannya itu mengakibatkan ia dengan mudahnya mengkritik bahkan menghakimi beberapa khotbah dan pengajaran firman yang bertanggungjawab hanya karena itu tidak cocok dengan dirinya (bukan karena tidak sesuai dengan Alkitab). Atau mungkin sekali ia meng“amin”i semua khotbah dan pengajaran yang didengarnya, namun sayang ia TIDAK mau rendah hati mengoreksi kesalahan dan mengaplikasi khotbah tersebut. Jangan heran, khususnya, seorang muda Kristen (bahkan mungkin anak majelis/tua-tua/hamba Tuhan) bisa dengan mudahnya meng“amin”i khotbah yang mengajar bahwa carilah pasangan hidup yang seiman, namun secara praktik hidup, ia dengan mudahnya menjalin hubungan dekat dengan lawan jenis yang berbeda iman (dengan alasan: “cocok” dengan lawan jenis tersebut). Bagaimana dengan kita? Jangan menuduh orang lain munafik, tetapi introspeksi diri kita masing-masing terlebih dahulu, masihkah kita munafik? Jika ya, berhati-hati dan bertobatlah.
2. Tidak Suka Kebenaran
Orang “Kristen” bisa munafik mungkin sekali karena ia tidak suka Kebenaran. Kalau di poin pertama, orang “Kristen” munafik saya sebut sebagai “Kristen” palsu yang tidak rendah hati, maka di poin kedua, sikap tidak rendah hati ini menghasilkan suatu sikap yang tidak suka Kebenaran. Mengapa ia tidak suka Kebenaran? Karena baginya, pertama, Kebenaran itu idealisme yang terlalu tinggi dan di awang-awang serta tidak mungkin diwujudnyatakan dalam kehidupan dunia ini. Tidak heran, karena pikiran ini, maka orang “Kristen” munafik bisa hidup mendua hati. Jika di gereja, ia akan meng“amin”i khotbah yang mengajarkan tentang pentingnya hidup kudus, jujur, taat, setia, dll, tetapi setelah keluar gereja, ia kembali ke hidup aslinya yang tidak karuan, gemar berdusta, dll. Benarkah kebenaran itu hanya idealisme kosong dan tidak bisa diwujudnyatakan? TIDAK! Yang kita perlukan bukan bagaimana menghidupi Kebenaran itu dalam waktu singkat, namun yang kita perlukan adalah bersediakah kita dengan rendah hati taat menghidupi Kebenaran itu? Dan ketaatan itu BUKAN suatu proyek singkat, namun proyek yang membutuhkan waktu yang sangat lama, karena ketaatan itu adalah sebuah PROSES.
Kedua, Kebenaran itu tidak enak dan perlu bayar harga untuk itu. Tuhan Yesus sudah mengajar hal demikian, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.” (Mat. 16:24; bdk. 10:38) Rasul Paulus juga mengajar hal serupa kepada anak rohaninya, Timotius di dalam 2 Timotius 3:12, “Memang setiap orang yang mau hidup beribadah di dalam Kristus Yesus akan menderita aniaya,” Tidak ada bagian Alkitab yang mengajarkan bahwa ikut Kristus pasti kaya, sukses, berkelimpahan, makmur, selalu sehat, bahkan tidak pernah digigit nyamuk. Itu jelas bukan ajaran Alkitab! Namun, sayangnya, begitu banyak orang “Kristen” dengan mudahnya ditipu oleh ajaran-ajaran yang tidak bertanggungjawab demikian. Sehingga jangan heran orang “Kristen” demikian hidup mendua hati. Jika di gereja, ia bisa dengan bangganya mengaku diri “Kristen”, namun ketika bahaya mengancam nyawanya, mungkin sekali ia menyangkal imannya dan mengatakan bahwa dirinya bukan Kristen. Itu yang sering saya dengar pada beberapa atau bahkan banyak orang Kristen ketika berhadapan dengan bahaya nyawa pada kerusuhan Mei 1998. Sungguh mengerikan kemunafikan demikian. Terhadap orang “Kristen” demikian, Tuhan Yesus berfirman, “Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Aku juga akan mengakuinya di depan Bapa-Ku yang di sorga. Tetapi barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan Bapa-Ku yang di sorga."” (Mat. 10:32-33)
3. Melihat Kemunafikan Orang “Kristen” Lainnya
Alasan ketiga orang “Kristen” bisa munafik adalah karena ia sendiri melihat orang “Kristen” lainnya munafik. Jika ada orang “Kristen” lain atau bahkan beberapa pemimpin gereja munafik, orang “Kristen” ini akan langsung mengambil sikap serupa. Lalu, kalau orang ini ditanya oleh orang lain mengapa dia munafik, dia akan berargumentasi bahwa dia bersikap munafik karena orang lain bahkan pemimpin gereja munafik. Berarti, kemunafikan dirinya lebih disebabkan oleh pihak luar/eksternal, ketimbang internal. Jika hal demikian yang terjadi, maka orang yang munafik ini sudah berdosa dobel. Pertama, dia munafik. Kedua, dia munafik dan menyalahkan orang lain munafik yang mempengaruhi sikapnya yang munafik. Jadi, istilahnya, dia tidak mau disalahkan (karena sikapnya yang munafik) dan dengan mudahnya menyalahkan orang lain, padahal orang Kristen bertugas menjadi saksi Kristus yang mempengaruhi dunia luar, bukan dipengaruhi oleh dunia luar.
Di sisi lain, ini juga menjadi teguran bagi orang Kristen yang sungguh-sungguh namun masih hidup di dalam kemunafikan. Kalau kita sungguh-sungguh mengaku telah beriman kepada Kristus, seharusnya kita tidak lagi hidup munafik dan kita terus-menerus berkomitmen untuk menjadi garam dan terang bagi dunia sekitar, sehingga melalui sikap kita, orang lain bahkan orang Kristen lain diberkati dan memuliakan Tuhan. Ini juga menjadi teguran bagi saya pribadi.
Jika kita telah mengerti alasan kemunafikan, lalu bagaimana orang Kristen bisa keluar dari sikap hidup munafik? Kembali ke ayat 9a, Paulus mengatakan bahwa KASIH itu TIDAK MUNAFIK. Berarti jalan keluar dari sikap hidup kemunafikan adalah kembali kepada KASIH AGAPE! Di dalam kasih, tidak ada kemunafikan. Artinya, di dalam kasih, selain harus ada Kebenaran, juga ada kemurnian, ketulusan, kejujuran, dan kesetiaan. Rasul Paulus juga mengajar hal serupa kepada Timotius di dalam 1 Timotius 1:5 tentang pentingnya nasihat di ayat 3-4, “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci, dari hati nurani yang murni dan dari iman yang tulus ikhlas.” Kata “kasih” di ayat 5 ini di dalam KJV diterjemahkan charity (=amal/kebajikan) dan bahasa Yunaninya JUGA menggunakan kata agapē. “Hati yang suci” di ayat 5 ini diterjemahkan oleh KJV sebagai, “pure heart” (=hati yang bersih/murni) dan kata Yunani untuk pure ini adalah katharos yang berarti bersih, jernih/jelas (clean, clear). Lalu, bagaimana kita memiliki kasih agapē yang murni tersebut?
Di ayat 9b, Paulus menjelaskan bahwa di dalam kasih agapē yang murni tersebut terkandung dua sikap:
1. Membenci yang Jahat
Di ayat 9b, bagian pertama, Paulus mengajar, “Jauhilah yang jahat” Kalau kita memperhatikan terjemahan Indonesia ini, seolah-olah kita mendapatkan gambaran bahwa kasih yang murni itu hanya MENJAUHI yang jahat. Terjemahan Indonesia ini kurang tepat artinya dan cenderung masih terlalu lembut bahasanya. Jika kita membandingkan terjemahan Indonesia ini dengan terjemahan Inggris dan teks asli Yunaninya, kita mendapatkan pengertian yang lebih tegas dan jelas. Analytical-Literal Translation (ALT), 1889 Darby Bible, English Majority Text Version (EMTV), ESV, ISV, KJV, Revised Version (RV), 1833 Webster Bible, 1898 Young’s Literal Translation (YLT) menerjemahkan “jauhilah” ini dengan kata abhor (=sangat membenci). Terjemahan lain untuk kata “jauhilah” ini adalah hate (=membenci) dan terjemahan ini dipakai oleh James Murdock New Testament, 1965 Bible in Basic English (BBE), Bishops’ Bible 1568, God’s Word, Bahasa Indonesia Sehari-hari (BIS), dan NIV. Kata Yunani yang dipakai di sini adalah apostugeō dan oleh Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Perjanjian Baru Interlinear Yunani-Indonesia diterjemahkan, “Bencilah.” Dan di dalam struktur bahasa Yunani, kata ini menggunakan bentuk aktif dan present. Dari studi kata ini, kita mendapatkan penjelasan bahwa kasih yang murni adalah kasih yang MEMBENCI kejahatan secara aktif dan sekarang. Artinya:
Pertama, kasih bukan hanya MENJAUHI kejahatan (bukan hanya mengenai jauh atau dekat), tetapi kasih yang murni adalah kasih yang benar-benar MEMBENCI kejahatan. Kasih yang membenci kejahatan artinya kasih yang TIDAK mau melihat kejahatan sedikitpun. Hal ini sangat berbeda total dari konsep dunia tentang kasih. Dunia kita (tidak jarang termasuk banyak orang Kristen di dalamnya) mendefinisikan kasih sebagai tindakan yang mengasihi kejahatan bahkan bersuka di dalam kejahatan tersebut. Tidak heran, free-sex, dianggap sah, normal, bahkan para pelakunya bersuka di dalam tindakan-tindakan tersebut. Namun, Alkitab memiliki definisi yang teragung mengenai kasih yang murni, yaitu kasih yang membenci kejahatan. Atau saya berani menafsirkan: KASIH yang MURNI adalah KASIH yang JIJIK terhadap kenajisan. Mengapa kita bisa membenci alias jijik terhadap kejahatan/kenajisan? Karena kita adalah anak-anak Allah yang mengasihi kesucian hidup sebagaimana yang Allah sendiri perintahkan melalui Rasul Petrus, “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu, tetapi hendaklah kamu menjadi kudus di dalam seluruh hidupmu sama seperti Dia yang kudus, yang telah memanggil kamu, sebab ada tertulis: Kuduslah kamu, sebab Aku kudus.” (1Ptr. 1:14-16)
Kedua, kasih yang MEMBENCI kejahatan dilakukan secara AKTIF. Kasih yang membenci kejahatan bukan dilakukan secara pasif, yaitu menunggu sampai kejahatan itu benar-benar mencobai kita. TIDAK! Justru, kita secara AKTIF membenci kejahatan baik kejahatan itu PASIF maupun AKTIF mencobai kita. Berarti, ada suatu langkah MAJU dan BERANI di dalam sikap kita dalam MEMBENCI kejahatan. Hal ini sama seperti yang dipaparkan oleh Rasul Petrus ketika berbicara mengenai si setan, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis, berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya. Lawanlah dia dengan iman yang teguh, sebab kamu tahu, bahwa semua saudaramu di seluruh dunia menanggung penderitaan yang sama.” (1Ptr. 5:8-9) Kata “sadarlah”, “berjaga-jagalah”, dan “lawanlah” di dalam kedua ayat ini (8-9) di dalam struktur bahasa Yunani menggunakan bentuk AKTIF. Berarti, kita bukan diperintahkan PASIF terhadap kejahatan/setan, tetapi AKTIF. Dengan kata lain, mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong, kita sebagai orang Kristen yang beres TIDAK dipanggil hanya untuk menjawab tantangan/serangan zaman/setan, tetapi untuk MENANTANG zaman agar kembali kepada Kebenaran!
Lalu, bagaimana kita mewujudnyatakan kasih yang membenci kejahatan secara aktif ini? Caranya adalah dengan TIDAK terikat pada kejahatan atau apa pun yang jahat yang memisahkan kita dari Allah dan juga kita menegur sesama saudara seiman atau orang lain agar tidak terikat juga. Berarti: Pertama, kita memberlakukan “membenci kejahatan” itu pada diri kita sendiri terlebih dahulu. Kita membenci kejahatan dengan TIDAK terikat pada kejahatan apa pun yang memisahkan kita dari Allah. Caranya adalah, seperti yang dipaparkan Paulus di ayat-ayat sebelumnya (Rm. 12:1-2), kita mempersembahkan tubuh kita sebagai persembahan yang hidup, yang kudus, dan yang berkenan kepada Allah yang ditandai dengan pembaharuan akal budi kita. Ketika kita mempersembahkan tubuh kita untuk dipakai bagi kemuliaan-Nya (melalui pembaharuan akal budi kita), maka pada saat yang sama, melalui proses pengudusan yang Roh Kudus kerjakan, kita tidak akan lagi terikat pada kejahatan yang mendukakan hati-Nya. Berarti fokus kepada Allah mengakibatkan kita tidak lagi berfokus kepada hal-hal yang jahat. Kedua, kita pun dipanggil untuk menyadarkan sesama saudara seiman/orang lain agar mereka juga tidak terikat. Berarti kita bukan hidup egois yang hanya memperhatikan kepentingan kita, tetapi kita juga mengingat orang lain akan bahaya kejahatan itu. Bagaimana kita dapat menyadarkan mereka? Caranya adalah dengan menegur mereka agar mereka juga tidak terikat pada kejahatan. Di dalam Alkitab, Paulus menegur Petrus yang munafik (Gal. 2:11-14). Jelas tujuan teguran itu BUKAN untuk mempermalukan Petrus atau membuktikan Paulus lebih hebat dan rohani ketimbang Petrus, tetapi motivasi dan tujuannya agar Petrus bertobat dari kemunafikan itu dan kembali kepada jalan yang benar. Berarti di dalam suatu teguran, yang diperhatikan adalah isi teguran beserta motivasi, cara, dan tujuan yang beres. Kepada Timotius yang ditugasi Paulus untuk melayani jemaat bersama, Paulus menasihatkan Timotius, “Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.” (2Tim. 4:2) Selain memberitakan firman, di dalam pelayanan, Paulus juga mengingatkan Timotius untuk tidak lupa menegur jemaat. Berarti, teguran tetap diperlukan bagi orang Kristen/jemaat agar mereka juga bertobat. Bagaimana dengan kita? Sudahkah kita menegur diri kita sendiri dan orang lain demi pertumbuhan masing-masing anggota tubuh Kristus ke arah Kristus? Ingatlah, jangan sungkan-sungkan menegur dan biarkan Roh Kudus sendiri yang bekerja di dalam teguran itu untuk menyadarkan kita maupun orang lain.
2. Melekat Pada yang Baik
Bukan hanya membenci kejahatan, kasih yang murni juga melekat pada yang baik. Terjemahan Indonesia, “lakukanlah yang baik.” Kata “lakukanlah” di dalam KJV diterjemahkan cleave (=berpegang erat/setia pada). Di dalam NIV dan ISV diterjemahkan cling (=mendekat/menempel) dan terjemahan Indonesia dari teks Yunaninya adalah bergabunglah dengan (yang baik). Kedua bagian ini, yaitu membenci yang jahat dan melekat pada yang baik saling berkaitan. Kasih yang murni adalah kasih yang MEMBENCI yang jahat dan sekaligus setelah itu langsung MELEKAT pada yang baik. Apa arti “baik” di dalam bagian ini? Kata “baik” dalam ayat 9b ini dalam bahasa Yunaninya agathos berarti good, well (baik, bagus). Pdt. Hasan Sutanto, D.Th. di dalam Konkordansi Perjanjian Barunya menerjemahkan agathos sebagai baik, baik hati, jujur, berguna. Jika kita membaca kembali ayat-ayat sebelumnya, yaitu di ayat 2, maka kita mendapatkan penjelasan utuh tentang konsep baik di dalam ayat 9b ini. Di Roma 12:2, Paulus mengajarkan, “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.” Kata “baik” di ayat 2 ini dalam bahasa Yunani sama dengan kata “baik” di ayat 9b. Berarti, BAIK bukan hanya BAIK secara standar moral saja, tetapi BAIK dikaitkan dengan: kehendak Allah, berkenan kepada Allah (menyenangkan Allah), dan sempurna. Dengan kata lain, melekat pada/bergabung dengan yang baik berarti bergabung dengan yang baik, berguna, berkenan kepada Allah, menyenangkan-Nya, dan sempurna. Setelah bergabung, tentu orang Kristen dituntut untuk menjalankannya. Berarti, makna bergabung, bukan hanya sekadar bergabung seperti bergabung di dalam sebuah anggota kelompok, tetapi juga berpartisipasi di dalamnya.
Bergabung dengan/melekat pada yang baik ini di dalam struktur bahasa Yunaninya menggunakan bentuk PASIF. Mengapa PASIF? Karena posisi kita yang bergabung dengan kebaikan itu BUKAN posisi aktif yang berasal dari diri kita, tetapi PASIF, karena Allah yang menarik kita kepada kebaikan itu. Inilah bedanya theologi yang menekankan kedaulatan dan anugerah Allah vs theologi yang terlalu menekankan tanggung jawab manusia. Theologi yang berpusat pada Allah adalah theologi yang melihat segala sesuatu dari perspektif anugerah dan kedaulatan Allah yang membawa manusia mengenal kebenaran dan kebaikan, sedangkan theologi yang berpusat pada manusia selalu melihat kehebatan manusia yang secara aktif mencari Allah dan melekat pada kebenaran dan kebaikan secara sendiri. Kembali, ketika kita bisa melekat pada yang baik itu terjadi karena anugerah Allah yang begitu agung, karena tanpa anugerah-Nya, kita tidak mungkin menyukai apa yang benar dan baik.
Bagaimana dengan Anda? Sudahkah Anda memiliki kasih yang murni yang: MEMBENCI kejahatan dan MELEKAT pada yang baik demi hormat dan kemuliaan nama-Nya? Jika belum, sudah saatnya Anda bertobat dan kembali kepada-Nya. Jika sudah, teruslah perbaharuilah komitmen Anda di hadapan-Nya dan jangan lupa untuk mengingatkan orang lain/saudara seiman lain supaya mereka juga memiliki kasih yang murni. Kiranya Tuhan memberkati komitmen hati kita dan pelayanan kita di hadapan-Nya. Amin.