Bagian pertama dan kedua dari tulisan ini telah membahas keunikan Kristus, apa yang membuat Yesus sangat berbeda dari yang lain. Salah satu keunikan-Nya adalah bahwa Ia menyatakan diri-Nya sebagai Allah. Ya, Yesus memang menyatakan diri-Nya sebagai Allah namun pertanyaan kita sekarang adalah apakah kata-kata Yesus itu bisa dipercaya? Bukankah ada kemungkinan bahwa Yesus sementara membohongi para pengikut-Nya? Bukankah setiap orang dapat mengatakan dirinya sebagai Allah walaupun itu adalah sebuah kebohongan? Hal inilah yang akan dibahas dalam bagian terakhir dari tulisan ini.
Almarhum C.S. Lewis seorang apologet Kristen terkemuka, profesor di Universitas Cambridge, yang dulunya adalah seorang agnostic (orang yang tidak mengakui adanya Allah), pernah menjawab persoalan semacam ini dengan membangun sebuah argumentasi yang sangat indah. Lewis berkata : “Di sini saya mencoba mencegah siapapun untuk mengatakan yang sungguh-sungguh bodoh yang sering dikatakan seseorang tentang Dia, yaitu ‘Saya siap menerima Yesus sebagai seorang guru moral yang agung, tetapi saya tidak dapat menerima pernyataan-Nya bahwa Dia adalah Allah.’ Justru itulah satu-satunya hal yang tidak boleh kita katakan. Seseorang yang cuma manusia saja yang mengatakan hal-hal yang Yesus katakan, tak mungkin seorang guru moral yang agung. Pastilah dia seorang gila-setingkat dengan orang yang mengatakan dirinya telur goreng – atau tentulah dia iblis sendiri yang berasal dari neraka. Anda harus menentukan pilihan anda. Entah orang ini Anak Allah, atau orang gila atau sesuatu yang lebih buruk lagi.” Kemudian Lewis menambahkan, “Anda dapat menyuruh-Nya menutup mulut-Nya dengan menyebutkan-Nya seorang tolol, anda dapat meludahi-Nya dan membunuh-Nya dengan menyebutkan-Nya setan, atau anda dapat jatuh berlutut di kaki-Nya dan menyebut-Nya Tuhan dan Allah. Tetapi jangan menyebutkan omong kosong dengan mengatakan bahwa Dia seorang manusia dan guru yang agung. Ia tidak pernah memberi pilihan itu kepada kita. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Allah. Ia tidak membiarkan pilihan-pilihan lain terbuka bagi manusia. Maka pernyataan-Nya haruslah salah atau benar. Karena itu kita, setiap manusia, harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Pertanyaan-Nya yang dikatakan pada murid-murid-Nya, “Tetapi menurut kamu, siapakah Aku?” (Mat 16:15), mempunyai beberapa alternatif. Pertama mari kita mempertimbangkan kemungkinan bahwa pernyataan-Nya sebagai Allah adalah salah. Kalau pernyataan itu salah, maka hanya mempunyai dua alternatif saja. Entah Yesus tahu bahwa pernyataan-Nya itu salah, atau Dia tidak mengetahuinya.
Untuk memahami maksud Lewis, baiklah saya jelaskan kembali. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Allah. Pernyataan Yesus ini mempunyai dua kemungkinan :
(1) Yesus berbohong
(2) Yesus jujur.
Jika Yesus berbohong maka jelas Dia bukan Allah namun jika Yesus jujur maka DIA ADALAH ALLAH. Seandainya Yesus berbohong maka masih terdapat lagi dua kemungkinan :
(1) Yesus tahu/sadar bahwa Ia berbohong
(2) Yesus tidak sadar/tidak tahu bahwa Ia berbohong.
Jika Yesus tahu atau dasar bahwa Ia berbohong berarti Ia dengan sengaja membohongi pengikut-pengikut-Nya. Kalau ini yang terjadi maka tidak dapat dihindari sebuah fakta yakni YESUS ADALAH SEORANG PENIPU ULUNG. Lalu bagaimana kalau seandainya Yesus tidak tahu bahwa Ia sementara berbohong? Jika Yesus sementara berbohong namun Ia tidak tahu / tidak sadar bahwa berbohong maka sesungguhnya YESUS ADALAH SEORANG GILA.Dengan demikian di hadapan fakta pengakuan Yesus bahwa diri-Nya adalah Allah, kita mempunyai tiga kemungkinan :
(1) YESUS ADALAH PENIPU
(2) YESUS ADALAH ORANG GILA
(3) YESUS ADALAH ALLAH.
Kita akan menyimak 3 kemungkinan ini.
Yesus Penipu?
Apakah Yesus seorang penipu? Ya. Ia adalah seorang penipu bahkan penipu ulung seandainya Ia mengatakan bahwa diri-Nya adalah Allah padahal sesungguhnya tidak demikian. Namun benarkah Ia adalah seorang penipu? Jika kita mempelajari laporan-laporan Injil dengan sikap jujur dan obyektif maka kita akan mendapat suatu kesan yang sangat kuat bahwa Yesus adalah seorang guru moral yang sangat baik. Josh Mc. Dowell berkata : “Di manapun Yesus diberitakan, ternyata kehidupan manusia berubah menjadi lebih baik. Ada pencuri-pencuri yang telah berubah menjadi orang-orang yang jujur. Pecandu alkohol disembuhkan. Pendengki menjadi saluran kasih. Dan mereka yang tidak adil menjadi orang yang adil’. (Bukan Sekedar Tukang Kayu ; hal. 2). William Lecky, salah seorang dari ahli-ahli sejarah Inggris yang paling terkemuka, dan seorang lawan gigih terhadap agama Kristen yang terorganisasi, menulis : ‘ Agama Kristen terbukti bukan saja merupakan satu-satunya pola kebajikan yang tertinggi, melainkan pula dorongan yang paling kuat bagi prakteknya … . Catatan sederhana dari kehidupan aktif Yesus selama tiga tahun yang singkat ini telah berjasa lebih banyak untuk mengubah serta melunakkan manusia daripada semua pencarian para ahli filsafat dan semua desakan dari kaum moralis’. (Lecky dalam Bart Larson : Who is Jesus ?; hal. 23). Memang benar. Yesus adalah seorang guru moral yang sangat baik. Hal ini diakui bahkan oleh orang-orang yang menolak keilahian-Nya. Namun persoalannya adalah bagaimana mungkin seseorang menerima Dia sebagai seorang guru moral yang baik namun menolak pengakuan diri-Nya sebagai Allah. Jika Yesus seorang guru moral yang baik maka Ia tidak mungkin menipu. Ia tidak mungkin mengatakan sesuatu yang tidak benar. Ia tidak mungkin mengatakan diri-Nya sebagai Allah kalau tidak demikian adanya. Jika Ia adalah guru moral yang sangat baik maka Ia tidak mungkin menipu maka tentunya Ia tidak akan mengaku diri-Nya sebagai kecuali memang benar demikian. Mengakui bahwa Yesus adalah guru moral yang baik namun menolak keilahian-Nya adalah sebuah kontradiksi besar. Mac Dowell menulis tentang Yesus : Seorang tokoh yang begitu orisinal, begitu lengkap dan begitu konsisten, begitu sempurna, begitu manusiawi dan pada saat yang sama begitu tinggi melampaui segala kebesaran umat manusia, tak mungkin menjadi seorang penipu atau tokoh khayalan belaka. Dalam hal ini, si penyair, seperti telah dikatakan, tentunya lebih hebat daripada si pahlawan. Diperlukan lebih daripada sekedar seorang Yesus untuk mengkhayalkan seorang Yesus. (Mc. Dowell : 2). Sejarawan Philip Schaff mengemukakan argumen yang meyakinkan dalam melawan anggapan bahwa Yesus adalah seorang pembohong : “Bila ditinjau dari sudut-sudut logika, akal sehat dan pengalaman, bagaimana mungkin, seorang penipu, yaitu seorang yang penuh tipu daya, egois dan rusak akhlak, telah menciptakan tabiat yang paling murni dan mulia yang pernah dikenal dalam sejarah, yang begitu sempurna, yang begitu sempurna dalam hal kebenaran dan realitas, serta berhasil mempertahankannya sejak semula sampai akhir secara konsisten? Bagaimana mungkin Ia berhasil menciptakan dan berhasil melaksanakan suatu rencana yang tak terbanding manfaat kebaikannya, kebesaran moralnya dan keagungannya, serta mengorbankan hidupnya sendiri untuk hal itu, sementara menghadapi prasangka-prasangka yang paling kuat dari bangsanya sendiri dan zamannya?(Jesus Christ ; 12). Jelas sudah, Yesus bukan seorang penipu atau pembohong.
Yesus Orang Gila ?
Kemungkinan kedua yang perlu dipikirkan adalah apakah Yesus orang gila ? Yesus memang pernah dituduh sebagai orang gila oleh keluarga-Nya namun benarkah Ia seorang gila ? Dokter Arthur P. Noyes dan Lawrence C. Kolb menggambarkan seorang yang menderita penyakit jiwa schizophrenia sebagai orang yang sifatnya lebih terpusat pada pikiran tentang dirinya sendiri dan dunia khayalan daripada bersifat realistis. Keinginan seorang schizophrenia sudah melarikan diri dari dunia realistis. Apakah ini cocok dikenakan pada Yesus ? Berdasarkan hal-hal yang kita ketahui tentang Yesus, sulit untuk dibayangkan bahwa Dia adalah orang yang tidak waras pikiran-Nya. Dia adalah seorang laki-laki yang mengatakan sebagian ucapan-ucapan yang artinya paling dalam yang pernah dicatat oleh manusia. Ajaran-ajaran-Nya telah membebaskan banyak orang yang sebelumnya terikat secara mental. Clark H. Pinnock bertanya : “Apakah Ia terkecoh tentang kebesaran-Nya itu? Apakah ia penderita paranoia, seorang yang tak sengaja menipu, seorang schizophrenis? (Pinnock dalam Larson, hal. 17). Sekali lagi, kecakapan dan kedalaman ajaran-ajaran-Nya mendukung kesehatan mental-Nya secara menyeluruh. Kalau kita jujur maka kita pasti berkesimpulan bahwa Ia tidak gila. Kecuali kita gila. Mc. Dowell mengutip kata-kata J. T. Fisher, seorang psikiater : “Seandainya kita mengumpulkan keseluruhan artikel bermutu yang pernah ditulis para psikolog dan psikiater yang paling berbobot tentang kesehatan mental – seandainya kita mengkombinasikan serta memperbaikinya dan membuang segala kata yang hanya merupakan hiasan, dan seandainya kita mengumpulkan setiap bagian dari pengetahuan ilmiah yang murni dan tidak menyeleweng ini, yang secara tepat dan padat diungkapkan oleh para penyair paling pandai yang hidup sekarang ini, kita akan memiliki suatu ringkasan yang janggal dan tidak lengkap dari Khotbah di Bukit. Dan bila diperbandingkan dengan Khotbah di Bukit, maka ringkasan itu akan sangat tidak memadai. Selama hampir 2000 tahun dunia Kristen telah memegang dengan tangannya jawaban yang lengkap terhadap keinginan-keinginannya yang penuh kegelisahan dan kesia-siaan. Di sini … terdapat rancangan bagi kehidupan manusia yang dapat berhasil dengan optimisme, kesehatan mental dan kepuasan. (Mc. Dowell : 3). Semuanya itu membuktikan bahwa Yesus bukan orang gila. Ketika Dia mengatakan bahwa diri-Nya Allah, Ia sementara berbicara dalam seluruh kesadaran dan kewarasan-Nya. Hanya orang gila yang mengatakan bahwa Yesus orang gila.
Yesus Allah?
Jika kemungkinan pertama (Yesus penipu) dan kedua (Yesus orang gila) gugur maka hanya tinggal satu kemungkinan yakni Ia adalah Allah. Ya! Ketika Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah Allah, Ia mengatakan dengan seluruh kesadaran dan seluruh ketulusan dan kejujuran maka kita tidak dapat menolak fakta penting bahwa Ia adalah Allah.
Masalah dengan ketiga pilihan ini bukanlah pilihan mana yang mungkin, karena jelas sekali bahwa ketiga-tiganya itu mungkin. Melainkan pertanyaannya adalah, “Pilihan mana yang paling mungkin?” Siapakah Yesus Kristus menurut anda tidak boleh menjadi suatu latihan intelektual yang iseng-iseng saja. Anda tak dapat mengesampingkan-Nya sebagai seorang guru moral yang agung. Itu bukan pilihan yang sah. Atau bahkan Dia seorang pembohong, seorang gila atau Tuhan dan Allah. Anda harus menentukan pilihan. “Tetapi” demikian tulis rasul Yohanes, “Semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan “ – yang lebih penting lagi – “supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh. 20:31). Bukti dengan jelas menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan, tetapi sejumlah orang tertentu menolak bukti yang jelas ini karena implikasi-implikasi moral yang terlibat dengannya. Mereka tak mau menghadapi tanggung-jawab atau implikasi dari menyebut Yesus sebagai Tuhan. BAGAIMANA PENDAPAT SAUDARA?
Almarhum C.S. Lewis seorang apologet Kristen terkemuka, profesor di Universitas Cambridge, yang dulunya adalah seorang agnostic (orang yang tidak mengakui adanya Allah), pernah menjawab persoalan semacam ini dengan membangun sebuah argumentasi yang sangat indah. Lewis berkata : “Di sini saya mencoba mencegah siapapun untuk mengatakan yang sungguh-sungguh bodoh yang sering dikatakan seseorang tentang Dia, yaitu ‘Saya siap menerima Yesus sebagai seorang guru moral yang agung, tetapi saya tidak dapat menerima pernyataan-Nya bahwa Dia adalah Allah.’ Justru itulah satu-satunya hal yang tidak boleh kita katakan. Seseorang yang cuma manusia saja yang mengatakan hal-hal yang Yesus katakan, tak mungkin seorang guru moral yang agung. Pastilah dia seorang gila-setingkat dengan orang yang mengatakan dirinya telur goreng – atau tentulah dia iblis sendiri yang berasal dari neraka. Anda harus menentukan pilihan anda. Entah orang ini Anak Allah, atau orang gila atau sesuatu yang lebih buruk lagi.” Kemudian Lewis menambahkan, “Anda dapat menyuruh-Nya menutup mulut-Nya dengan menyebutkan-Nya seorang tolol, anda dapat meludahi-Nya dan membunuh-Nya dengan menyebutkan-Nya setan, atau anda dapat jatuh berlutut di kaki-Nya dan menyebut-Nya Tuhan dan Allah. Tetapi jangan menyebutkan omong kosong dengan mengatakan bahwa Dia seorang manusia dan guru yang agung. Ia tidak pernah memberi pilihan itu kepada kita. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Allah. Ia tidak membiarkan pilihan-pilihan lain terbuka bagi manusia. Maka pernyataan-Nya haruslah salah atau benar. Karena itu kita, setiap manusia, harus mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh. Pertanyaan-Nya yang dikatakan pada murid-murid-Nya, “Tetapi menurut kamu, siapakah Aku?” (Mat 16:15), mempunyai beberapa alternatif. Pertama mari kita mempertimbangkan kemungkinan bahwa pernyataan-Nya sebagai Allah adalah salah. Kalau pernyataan itu salah, maka hanya mempunyai dua alternatif saja. Entah Yesus tahu bahwa pernyataan-Nya itu salah, atau Dia tidak mengetahuinya.
Untuk memahami maksud Lewis, baiklah saya jelaskan kembali. Yesus menyatakan diri-Nya sebagai Allah. Pernyataan Yesus ini mempunyai dua kemungkinan :
(1) Yesus berbohong
(2) Yesus jujur.
Jika Yesus berbohong maka jelas Dia bukan Allah namun jika Yesus jujur maka DIA ADALAH ALLAH. Seandainya Yesus berbohong maka masih terdapat lagi dua kemungkinan :
(1) Yesus tahu/sadar bahwa Ia berbohong
(2) Yesus tidak sadar/tidak tahu bahwa Ia berbohong.
Jika Yesus tahu atau dasar bahwa Ia berbohong berarti Ia dengan sengaja membohongi pengikut-pengikut-Nya. Kalau ini yang terjadi maka tidak dapat dihindari sebuah fakta yakni YESUS ADALAH SEORANG PENIPU ULUNG. Lalu bagaimana kalau seandainya Yesus tidak tahu bahwa Ia sementara berbohong? Jika Yesus sementara berbohong namun Ia tidak tahu / tidak sadar bahwa berbohong maka sesungguhnya YESUS ADALAH SEORANG GILA.Dengan demikian di hadapan fakta pengakuan Yesus bahwa diri-Nya adalah Allah, kita mempunyai tiga kemungkinan :
(1) YESUS ADALAH PENIPU
(2) YESUS ADALAH ORANG GILA
(3) YESUS ADALAH ALLAH.
Kita akan menyimak 3 kemungkinan ini.
Yesus Penipu?
Apakah Yesus seorang penipu? Ya. Ia adalah seorang penipu bahkan penipu ulung seandainya Ia mengatakan bahwa diri-Nya adalah Allah padahal sesungguhnya tidak demikian. Namun benarkah Ia adalah seorang penipu? Jika kita mempelajari laporan-laporan Injil dengan sikap jujur dan obyektif maka kita akan mendapat suatu kesan yang sangat kuat bahwa Yesus adalah seorang guru moral yang sangat baik. Josh Mc. Dowell berkata : “Di manapun Yesus diberitakan, ternyata kehidupan manusia berubah menjadi lebih baik. Ada pencuri-pencuri yang telah berubah menjadi orang-orang yang jujur. Pecandu alkohol disembuhkan. Pendengki menjadi saluran kasih. Dan mereka yang tidak adil menjadi orang yang adil’. (Bukan Sekedar Tukang Kayu ; hal. 2). William Lecky, salah seorang dari ahli-ahli sejarah Inggris yang paling terkemuka, dan seorang lawan gigih terhadap agama Kristen yang terorganisasi, menulis : ‘ Agama Kristen terbukti bukan saja merupakan satu-satunya pola kebajikan yang tertinggi, melainkan pula dorongan yang paling kuat bagi prakteknya … . Catatan sederhana dari kehidupan aktif Yesus selama tiga tahun yang singkat ini telah berjasa lebih banyak untuk mengubah serta melunakkan manusia daripada semua pencarian para ahli filsafat dan semua desakan dari kaum moralis’. (Lecky dalam Bart Larson : Who is Jesus ?; hal. 23). Memang benar. Yesus adalah seorang guru moral yang sangat baik. Hal ini diakui bahkan oleh orang-orang yang menolak keilahian-Nya. Namun persoalannya adalah bagaimana mungkin seseorang menerima Dia sebagai seorang guru moral yang baik namun menolak pengakuan diri-Nya sebagai Allah. Jika Yesus seorang guru moral yang baik maka Ia tidak mungkin menipu. Ia tidak mungkin mengatakan sesuatu yang tidak benar. Ia tidak mungkin mengatakan diri-Nya sebagai Allah kalau tidak demikian adanya. Jika Ia adalah guru moral yang sangat baik maka Ia tidak mungkin menipu maka tentunya Ia tidak akan mengaku diri-Nya sebagai kecuali memang benar demikian. Mengakui bahwa Yesus adalah guru moral yang baik namun menolak keilahian-Nya adalah sebuah kontradiksi besar. Mac Dowell menulis tentang Yesus : Seorang tokoh yang begitu orisinal, begitu lengkap dan begitu konsisten, begitu sempurna, begitu manusiawi dan pada saat yang sama begitu tinggi melampaui segala kebesaran umat manusia, tak mungkin menjadi seorang penipu atau tokoh khayalan belaka. Dalam hal ini, si penyair, seperti telah dikatakan, tentunya lebih hebat daripada si pahlawan. Diperlukan lebih daripada sekedar seorang Yesus untuk mengkhayalkan seorang Yesus. (Mc. Dowell : 2). Sejarawan Philip Schaff mengemukakan argumen yang meyakinkan dalam melawan anggapan bahwa Yesus adalah seorang pembohong : “Bila ditinjau dari sudut-sudut logika, akal sehat dan pengalaman, bagaimana mungkin, seorang penipu, yaitu seorang yang penuh tipu daya, egois dan rusak akhlak, telah menciptakan tabiat yang paling murni dan mulia yang pernah dikenal dalam sejarah, yang begitu sempurna, yang begitu sempurna dalam hal kebenaran dan realitas, serta berhasil mempertahankannya sejak semula sampai akhir secara konsisten? Bagaimana mungkin Ia berhasil menciptakan dan berhasil melaksanakan suatu rencana yang tak terbanding manfaat kebaikannya, kebesaran moralnya dan keagungannya, serta mengorbankan hidupnya sendiri untuk hal itu, sementara menghadapi prasangka-prasangka yang paling kuat dari bangsanya sendiri dan zamannya?(Jesus Christ ; 12). Jelas sudah, Yesus bukan seorang penipu atau pembohong.
Yesus Orang Gila ?
Kemungkinan kedua yang perlu dipikirkan adalah apakah Yesus orang gila ? Yesus memang pernah dituduh sebagai orang gila oleh keluarga-Nya namun benarkah Ia seorang gila ? Dokter Arthur P. Noyes dan Lawrence C. Kolb menggambarkan seorang yang menderita penyakit jiwa schizophrenia sebagai orang yang sifatnya lebih terpusat pada pikiran tentang dirinya sendiri dan dunia khayalan daripada bersifat realistis. Keinginan seorang schizophrenia sudah melarikan diri dari dunia realistis. Apakah ini cocok dikenakan pada Yesus ? Berdasarkan hal-hal yang kita ketahui tentang Yesus, sulit untuk dibayangkan bahwa Dia adalah orang yang tidak waras pikiran-Nya. Dia adalah seorang laki-laki yang mengatakan sebagian ucapan-ucapan yang artinya paling dalam yang pernah dicatat oleh manusia. Ajaran-ajaran-Nya telah membebaskan banyak orang yang sebelumnya terikat secara mental. Clark H. Pinnock bertanya : “Apakah Ia terkecoh tentang kebesaran-Nya itu? Apakah ia penderita paranoia, seorang yang tak sengaja menipu, seorang schizophrenis? (Pinnock dalam Larson, hal. 17). Sekali lagi, kecakapan dan kedalaman ajaran-ajaran-Nya mendukung kesehatan mental-Nya secara menyeluruh. Kalau kita jujur maka kita pasti berkesimpulan bahwa Ia tidak gila. Kecuali kita gila. Mc. Dowell mengutip kata-kata J. T. Fisher, seorang psikiater : “Seandainya kita mengumpulkan keseluruhan artikel bermutu yang pernah ditulis para psikolog dan psikiater yang paling berbobot tentang kesehatan mental – seandainya kita mengkombinasikan serta memperbaikinya dan membuang segala kata yang hanya merupakan hiasan, dan seandainya kita mengumpulkan setiap bagian dari pengetahuan ilmiah yang murni dan tidak menyeleweng ini, yang secara tepat dan padat diungkapkan oleh para penyair paling pandai yang hidup sekarang ini, kita akan memiliki suatu ringkasan yang janggal dan tidak lengkap dari Khotbah di Bukit. Dan bila diperbandingkan dengan Khotbah di Bukit, maka ringkasan itu akan sangat tidak memadai. Selama hampir 2000 tahun dunia Kristen telah memegang dengan tangannya jawaban yang lengkap terhadap keinginan-keinginannya yang penuh kegelisahan dan kesia-siaan. Di sini … terdapat rancangan bagi kehidupan manusia yang dapat berhasil dengan optimisme, kesehatan mental dan kepuasan. (Mc. Dowell : 3). Semuanya itu membuktikan bahwa Yesus bukan orang gila. Ketika Dia mengatakan bahwa diri-Nya Allah, Ia sementara berbicara dalam seluruh kesadaran dan kewarasan-Nya. Hanya orang gila yang mengatakan bahwa Yesus orang gila.
Yesus Allah?
Jika kemungkinan pertama (Yesus penipu) dan kedua (Yesus orang gila) gugur maka hanya tinggal satu kemungkinan yakni Ia adalah Allah. Ya! Ketika Yesus mengatakan bahwa diri-Nya adalah Allah, Ia mengatakan dengan seluruh kesadaran dan seluruh ketulusan dan kejujuran maka kita tidak dapat menolak fakta penting bahwa Ia adalah Allah.
Masalah dengan ketiga pilihan ini bukanlah pilihan mana yang mungkin, karena jelas sekali bahwa ketiga-tiganya itu mungkin. Melainkan pertanyaannya adalah, “Pilihan mana yang paling mungkin?” Siapakah Yesus Kristus menurut anda tidak boleh menjadi suatu latihan intelektual yang iseng-iseng saja. Anda tak dapat mengesampingkan-Nya sebagai seorang guru moral yang agung. Itu bukan pilihan yang sah. Atau bahkan Dia seorang pembohong, seorang gila atau Tuhan dan Allah. Anda harus menentukan pilihan. “Tetapi” demikian tulis rasul Yohanes, “Semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan “ – yang lebih penting lagi – “supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yoh. 20:31). Bukti dengan jelas menunjukkan bahwa Yesus adalah Tuhan, tetapi sejumlah orang tertentu menolak bukti yang jelas ini karena implikasi-implikasi moral yang terlibat dengannya. Mereka tak mau menghadapi tanggung-jawab atau implikasi dari menyebut Yesus sebagai Tuhan. BAGAIMANA PENDAPAT SAUDARA?
No comments:
Post a Comment