Tuhan Allah, yang sebagai sekutu umat-Nya, telah menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya sebagai Yang Esa tadi, selanjutnya dengan firman dan karya-Nya, juga menyatakan atau memperkenalkan diri-Nya sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang di dalam ajaran Kristen biasanya disebut Tritunggal.
Di dalam Alkitab tidak ada banyak ayat yang mengungkapkan ketritunggalan itu secara langsung. Kita mendengar perintah Yesus untuk membaptiskan di dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus; Rasul Paulus mengucapkan berkatnya sebagai "Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus", yang secara lebih luas lagi disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini:
* 1 Korintus 12:4-6,
"Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang."
* Efesus 4:4-6,
"satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua."
* 1 Petrus 1:1-2,
"Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia, yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu."
* Yudas 20-21,
"Akan tetapi kamu, saudara-saudaraku yang kekasih, bangunlah dirimu sendiri di atas dasar imanmu yang paling suci dan berdoalah dalam Roh Kudus. Peliharalah dirimu demikian dalam kasih Allah sambil menantikan rahmat Tuhan kita, Yesus Kristus, untuk hidup yang kekal."
Akan tetapi secara tidak langsung ada banyak ayat di dalam Perjanjian Baru yang menunjuk kepada ketritunggalan itu.
Di dalam berita tentang kelahiran Yesus, malaikat berkata, bahwa anak Maria itu akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi, serta bahwa Roh Kudus akan turun atas Maria, serta kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaunginya. Pada waktu Yesus dibaptis, Roh Allah turun ke atas-Nya seperti burung merpati, dan bahwa Tuhan Allah berfirman, "Inilah Anak yang Kukasihi."
Selain dari itu, Yesus sendiri mengaku di hadapan Sanhedrin, bahwa Ia adalah Anak Allah. Di hadapan orang Yahudi, Ia menyebut Tuhan Allah Bapa-Nya, sedang orang lain menyebut Dia Anak Allah. Mengenai Roh Kudus disebutkan, bahwa Yesus akan mengutus Roh-Nya dari Bapa dan sebagainya.
Semua ayat ini, yang masih dapat ditambah lagi dengan banyak sekali, tidak boleh diabaikan begitu saja.
Di sepanjang sejarah Gereja telah timbul penafsiran-penafsiran gagasan tentang Tuhan Allah yang telah dicetuskan oleh Plato. Segala pernyataan ini harus dilihat di dalam terang yang menerangi hakekat Tuhan Allah, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu di dalam semuanya itu Tuhan Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai sekutu umat-Nya di dalam firman dan karya-Nya.
Pada abad-abad yang pertama, Gereja yang masih muda itu dihadapkan dengan persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Pengakuan yang diambil-alih dari ajaran Yahudi, yaitu bahwa Tuhan Allah adalah esa.
2. Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan.
Oleh karena itu maka segeralah timbul persoalan, apakah dengan demikian orang Kristen tidak menyembah kepada Allah yang lebih dari satu?
Di sepanjang sejarah Gereja, tampaklah pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk merumuskan kepercayaannya yang mengenai Tuhan Allah. Di dalam pergumulan tadi dapat disaksikan bagaimana Gereja di satu pihak berusaha untuk menghindarkan diri dari bahaya "mempertahankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggalannya", artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada ajaran bahwa Allah adalah esa, sehingga sebutan Bapa, Anak, dan Roh Kudus seolah-olah hanya dipandang sebagai sifat-sifat Allah saja. Di lain pihak dapat disaksikan pula, bagaimana Gereja bergumul untuk menghindarkan diri dari bahaya "mempertahankan ketritunggalan Allah dengan melepaskan keesaannya", artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada perbedaan di antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sehingga ketiganya itu seolah-olah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada kesatuan.
Pada abad ketiga di Roma muncullah Praxeas yang mengajarkan bahwa Tuhan Allah adalah Roh. Sebagai Roh, Tuhan Allah disebut Bapa. Allah ini telah mengenakan daging atau menjadi manusia. Allah yang telah mengenakan daging ini disebut Anak. Di dalam diri Yesus Kristus, Bapa dan Anak menjadi satu, dalam arti demikian, bahwa sang manusia Yesus, yang daging adanya, adalah Anak, sedang Kristusnya, yang Roh adanya, adalah Bapa. Yang dilahirkan adalah Anak, yaitu sang manusia Yesus di dalam diri Juru Selamat. Sebenarnya Anak inilah yang menderita sengsara, sebab Allah Bapa, yang Roh adanya, tidak dapat menderita. Tetapi oleh karena Allah Bapa telah memasuki daging (Kristus memasuki Yesus) ia turut menderita juga. Ajaran ini disebut Patripassianisme, artinya, bahwa Bapa turut menderita sengsara. Di sini Praxeas membedakan antara daging (Anak) dan Roh (Bapa) di dalam diri Yesus Kristus. Sebenarnya, menurut Praxeas, Bapa dan Anak (Roh dan daging, atau Kristus dan Yesus) ini adalah Pribadi yang satu, yaitu Allah.
Dari uraian di atas jelas, bahwa Praxeas mempertahankan keesaan Allah. Tuhan Allah adalah satu. Bapa dan Anak adalah satu Pribadi, yaitu pribadi Tuhan Allah. Tetapi Praxeas melepaskan ketritunggalan atau di sini lebih tepat disebut kedwitunggalan. Sebutan Bapa dan Anak tidak menunjukkan perbedaan, kecuali sebagai Roh dan daging di dalam diri Juruselamat Yesus Kristus.
Gereja pada waktu itu menolak ajaran ini.
SABELLIUS :
Mempertahankan keesaan Tuhan Allah dan melepaskan ketritunggalan-Nya ini juga dilakukan oleh Sabellius (meninggal pada tahun 215). Ia mengajarkan, bahwa Tuhan Allah adalah esa. Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah modalitas atau cara menampakkan diri Tuhan Allah yang esa itu. Semula, yaitu di dalam Perjanjian Lama, Tuhan Allah menampakkan diri-Nya di dalam wajah atau modus Bapa, yaitu sebagai Pencipta dan Pemberi Hukum. Sesudah itu Tuhan Allah menampakkan diri-Nya di dalam wajah Anak, yaitu sebagai Juruselamat yang melepaskan umat-Nya, yang dimulai dari kelahiran Kristus hingga kenaikan-Nya ke surga. Akhirnya Tuhan Allah sejak hari Pentakosta menampakkan diri-Nya di dalam wajah Roh Kudus, yaitu sebagai Yang Menghidupkan. Jadi ketiga sebutan tadi adalah suatu urut-urutan penampakan Tuhan Allah di dalam sejarah.
Untuk menjelaskan pendapatnya itu Sabellius memakai gambaran matahari. Allah Bapa dapat diumpamakan dengan matahari dalam penampakannya, sedang Allah Anak adalah matahari dalam sinarnya, dan Allah Roh Kudus adalah matahari dalam kekuatannya menyinarkan panas. Ketritunggalan di sini dipandang sebagai ketritunggalan penampakan yang berganti-ganti atau bergiliran. Yang menampakkan diri adalah Tuhan Allah yang satu itu.
Pernah ada suatu keterangan mengenai ketritunggalan Allah, yang sama dengan keterangan Sabellius, yaitu ketritunggalan itu dapat diterangkan demikian: Bapak Presiden di tengah-tengah keluarganya menjadi kepala keluarga, di tengah-tengah angkatan bersenjata menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata, di tengah-tengah rakyat menjadi kepala negara. Orangnya satu, tetapi tampil dalam tiga wajah.
Demikianlah Sabellius juga mempertahankan keesaan Tuhan Allah, tetapi ketritunggalan-Nya dilepaskan. Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanya sebutan saja bagi Allah yang satu itu.
Sebaliknya ada golongan ahli pikir Kristen pada waktu itu yang berusaha mempertahankan ketritunggalan Allah, tetapi melepaskan keesaan-Nya, artinya bahwa Allah Bapa, Allah Anak (atau Yesus Kristus) dan Roh Kudus dibedakan sedemikian rupa, hingga ketiganya berdiri sendiri-sendiri, tanpa kesatuan.
PAULUS DARI SAMOSATA
Hal ini umpamanya dilakukan oleh Paulus dari Samosata, yang meninggal pada tahun 260. Menurut Paulus, Tuhan Allah hanya dapat dipandang sebagai satu pribadi saja. Tetapi di dalam diri Allah dapat dibedakan antara Logos (Firman) dan Hikmat. Logos dapat disebut Anak, sedang Hikmat dapat disebut Roh. Logos bukanlah suatu pribadi, melainkan suatu kekuatan yang tidak berpribadi. Logos ini telah bekerja pada diri Musa dan para nabi di dalam Perjanjian Lama, selanjutnya Ia juga bekerja di dalam diri Yesus, anak Maria. Juruselamat Yesus Kristus adalah manusia, yang datangnya dari bawah. Akan tetapi padanya telah bekerja Logos atau Firman, yang datangnya dari atas. Logos atau Firman ini dapat juga disebut manusia batin dari Yesus, sang Juru Selamat itu. Kediaman Logos atau Firman di dalam diri Yesus Kristus sama dengan kediaman Hikmat atau Roh di dalam diri para nabi di Perjanjian Lama. Perbedaannya ialah, bahwa pada Yesus kediaman Hikmat atau Roh tadi mempunyai sifat yang khas:
Yesus Kristus adalah rumah Allah, yang didiami oleh Roh Allah atau Hikmat Allah dengan sempurna. Seperti halnya dengan dua oknum yang dapat memiliki kesatuan kegemaran dan kehendak, demikianlah halnya dengan Tuhan Allah dan Kristus. Kesatuan kegemaran dan kehendak yang demikian itu terjadi karena kasih. Karena kasih dan kehendak-Nya yang tidak berubah, maka Kristus dipersatukan dengan Tuhan Allah, sehingga Ia bukan hanya dapattidak berdosa, melainkan juga dapat mengalahkan dosa-dosa nenek moyang-Nya. Sebagai upah kasih-Nya yang demikian itu, ia dikaruniai nama yang di atas segala nama, dan mendapat hak untuk mengadili dan memiliki kehormatan Allah, Ia diangkat menjadi Anak Allah.
Demikianlah Paulus dari Samosata mempertahankan perbedaan antara Allah Bapa dan Yesus Kristus. Keduanya dipisahkan hingga berdiri sendiri-sendiri tanpa kesatuan. Ia mempertahankan ketritunggalan (atau di sini kedwitunggalan) dengan melepaskan keesaan-Nya.
ORIGENES
Hal yang demikian juga dilakukan oleh Origenes (meninggal tahun 254). Menurut Origenes, Tuhan Allah adalah satu atau esa, sebagai lawan dari segala yang banyak. Tuhan ini menjadi sebab segala sesuatu yang berada. Dengan perantaraan Logos atau Firman, Tuhan Allah, yang Roh adanya itu, berhubungan dengan dunia benda. Logos ini berdiri sendiri sebagai suatu zat, yang memiliki kesadaran ilahi dan asas-asas duniawi. Ia adalah gambaran Allah yang sempurna. Sejak kekal ia dilahirkan dari Allah. Karena kekuasaan kehendak ilahi ia terus-menerus dilahirkan dari zat ilahi. Ia memiliki tabiat yang sama dengan Allah, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Ia satu dengan Allah, akan tetapi sebagai yang keluar dari Allah Bapa, Ia lebih rendah daripada Allah Bapa. Ia adalah pangkat pertama dari perpindahan dari Yang Esa kepada Yang Banyak, atau pangkat kedua di dalam zat Allah.
Aktivitas Logos atau Anak ini juga lebih rendah dibanding dengan aktivitas Bapa. Ia adalah pelaksana kehendak Allah Bapa, yang melaksanakan instruksiAllah Bapa, sebagai umpamanya penjadian.
Roh Kudus dianggapnya juga sebagai zat yang ada pada Allah, yaitu pangkat ketiga di dalam zat Allah itu. Roh Kudus ini adanya karena Anak. Hubungannya dengan Anak sama dengan hubungan Anak dengan Bapa. Bidang kerja-Nya juga lebih sempit dibanding dengan bidang kerja Anak. Bapa adalah asas beradanya segala sesuatu, sedang Roh Kudus adalah asas penyucian segala sesuatu.
Jadi ketritunggalan Allah dipandang sebagai berpangkat-pangkat. Oleh karena itu ajaran ini disebut subordinasianisme. Di sini perbedaan di antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus dipertahankan, akan tetapi kesatuannya ditiadakan.
Demikianlah secara singkat pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk merumuskan ajarannya mengenai penyataan Tuhan Allah sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Di Konsili di Nikea (325) Gereja menentukan syahadatnya untuk mempertahankan ketritunggalan di dalam keesaan dan keesaan di dalam ketritunggalan. Bunyi syahadat itu demikian:
"Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, segala yang kehilatan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang Tunggal, yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan dibuat, sehakekat dengan Sang Bapa .... dan seterusnya. Aku percaya kepada Roh Kudus, yang jadi Tuhan dan yang menghidupkan, yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak .... dan seterusnya.
Dari perumusan ini jelas, bahwa dengan tegas diajarkan tentang Allah Tritunggal, Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang bersama-sama disembah dan dimuliakan.
Perlu diperhatikan, bahwa Gereja di sini mengakui Allah Tritunggal, akan tetapi tidak memberi penjelasan secara teologis.
TERTULIANUS
Orang yang besar sekali pengaruhnya bagi perumusan ajaran Tritunggal ini adalah Tertullianus (120 – 225). Darinyalah istilah substansi atau zat danpersona atau pribadi dikenakan kepada ajaran Tritunggal. Ia merumuskan, bahwa Tuhan Allah adalah satu di dalam substansi-Nya atau Dzat-Nya dan tiga di dalam persona-Nya atau pribadi-Nya atau oknum-Nya (una substantia, tres personae).
Tertullianus sendiri mengajarkan demikian: Tuhan Allah memiliki pada diri-Nya akal atau budi. Budi ini dilahirkan atau dikeluarkan di dalam Firman atauLogos-Nya pada waktu penjadian alam semesta. Jadi Firman atau Logos itu keluar atau dilahirkan dari budi, seperti batang pohon keluar dari akarnya, atau seperti sungai keluar dari sumbernya, atau sebagai sinar keluar dari matahari. Oleh karena itu, maka Firman atau Logos tadi disebut Anak. Mula-mula Roh Kudus adalah satu dengan Firman, tidak terpisah dari Firman atau Logos, juga pada waktu Logos atau Firman menjadi manusia dan menderita sengsara. Baru setelah Kristus ditinggikan, Roh itu keluar dari Bapa dan Anak. Keluarnya Roh Kudus dari anak sama dengan keluarnya buah dari batang pohonnya, atau seperti arus keluar dari sungai, atau seperti berkas sinar keluar dari sinar. Jadi hubungan antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus digambarkan seperti hubungan: akar – batang – buah, atau sumber – sungai- arus, atau matahari – sinar – berkas sinar. Bapa, Anak, dan Roh Kudus memiliki satusubstansi, sedang mereka adalah tiga persona atau pribadi atau oknum. Adapun yang dimaksud dengan substansi oleh Tertullianus adalah apa yang berada secara kongkrit (sebagai umpamanya: batu, tanah, dan sebagainya), dan yang dimaksud dengan persona adalah yang menjadi subyek.
Sekalipun Gereja pada waktu itu tidak menerima ajaran Tertullianus, akan tetapi perumusannya tentang adanya satu substansi dan tiga personamempengaruhi pemikiran-pemikiran Gereja dari zaman sesudah Tertullianus. Di sepanjang sejarah Gereja, perumusan ini telah menimbulkan salah paham yang banyak sekali. Hal ini, demikian banyak teolog berpendapat, disebabkan oleh istilah-istilah yang dipergunakan di dalam bahasa Latin dan Yunani bagi pengertian-pengertian substansi dan persona tidaklah tepat, terlebih-lebih yang mengenai pengertian persona atau pribadi, atau oknum. Akan tetapi, salah paham itu terlebih-lebih disebabkan oleh pengungkapan-pengungkapan itu didasarkan atas pandangan Plato yang mengenai tabiat ilahi atau ketuhanan seperti yang telah diuraikan di atas.
Dalam abad-abad sesudah Konsili di Nikea itu, pergumulan tentang perumusan Tritunggal masih belum memuaskan segala pihak.
AGUSTINUS
Augustinus umpamanya, merumuskan ketritunggal itu demikian, bahwa hubungan Bapa, Anak, dan Roh Kudus di dalam zat ilahi adalah sebagai ingatan, akal, dan kehendak, atau sebagai yang mengasihi, sasaran kasih dan kasih. Roh bukan hanya suatu fungsi, melainkan suatu tindakan kasih, ikatan yang menghubungkan Bapa dan Anak.
THOMAS AQUINAS
Thomas Aquinas mengatakan, bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah cara berada ilahi yang berdiri sendiri. Jadi yang dimaksud dengan persona adalah cara berada.
JOHN CALVIN
Calvin menerangkan persona sebagai suatu hal yang berdiri sendiri di dalam kehidupan ilahi, yang satunya dibedakan dengan yang lain, karena sifat-sifat ilahi yang khas ilahi semata-mata.
Demikianlah ada perumusan yang bermacam-macam mengenai ketritunggalan tadi.
SUBSTANSI & PERSONA ALLAH TRITUNGGAL
Kata substansi adalah ousia di dalam bahasa Yunani, sedang kata persona adalah hupostasis atau hypostasis. Yang dimaksud Tertullianus dengansubstansi adalah apa yang berada secara kongkrit, sedang yang dimaksud dengan persona adalah apa yang menjadi subyek.
Di dalam bahasa Yunani yang disebut dengan ousia ialah apa yang membedakan satu macam atau satu rumpun dengan macam atau rumpun yang lain, serta yang memberi ciri khas kepada macam atau rumpun itu. Umpamanya: rumpun mangga; ousia mangga adalah ciri-cirinya yang membedakan rumpun ini dengan rumpun yang lain (umpamanya: jambu) dan ciri-ciri yang khas pada mangga yang menjadikan mangga berbeda dengan jambu. Ousia atau substansimanusia, atau juga disebut zat atau hakekat manusia, adalah apa yang membedakan manusia daripada binatang dan daripada tumbuh-tumbuhan serta daripada Allah, pendeknya: yang menjadikan manusia disebut manusia, bukan binatang atau tumbuh-tumbuhan atau Allah. Demikian juga halnya dengan ousia atau substansi Allah, ialah apa yang membedakan Allah dari manusia dan makhluk-makhluk yang lain yang oleh Plato disebut tabiat ilahi atau ketuhanan, yang harus dibedakan dengan tabiat insani atau kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan hypostasis atau persona adalah apa yang membedakan satu individu dari individu yang lain, serta yang membedakan ciri khas kepada individu itu di dalam satu rumpun atau satu macam, umpamanya: buah jeruk ada bermacam-macam, ada jeruk keprok, jeruk pecel, dan sebagainya. Semuanya itu termasuk rumpun jeruk, akan tetapi yang sebuah berbeda dengan yang lain. (Atau juga jeruk pada satu pohon, yang sebuah berbeda dengan yang lain).
Diterapkan kepada Tuhan Allah, hal itu diterangkan sebagai berikut, bahwa Bapa, Anak, Roh Kudus adalah tiga hypostasis di dalam satu ousia atau tigapersona di dalam satu substansi, atau tiga oknum di dalam satu Dzat.
Sejak abad ke-18 pengertian persona atau oknum telah dianggap sebagai suatu kekuatan yang berdiri sendiri dengan secara sadar, atau suatu swadaya yang sadar, yang dengan kekuatan kesusilaannya mempertahankan diri terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak berpribadi di sekitarnya. Sejak abad ke-18 ini sebenarnya pengertian persona atau oknum telah tidak mungkin lagi diterapkan guna mengungkapkan pengertian Alkitab yang mengenai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebab memang bukan pengertian yang seperti itulah yang dimaksud oleh Gereja kuno ketika merumuskan ajarannya tentang ketritunggalan Allah. Oleh karena itu maka banyak para ahli teologia sekarang yang menerjemahkan ungkapan υποστασις – HUPOSTASIS atau personabukan dengan oknum, melainkan dengan cara berada (seinsweise atau mode of existence) , sehingga ketritunggalan dirumuskan demikian: Allah adalah satu di dalam substansi-Nya, tetapi memiliki tiga cara berada.
Cara menerangkan ini juga masih kabur, karena masih terlalu dipengaruhi oleh gagasan Plato mengenai adanya suatu tabiat ilahi atau ketuhanan tadi.
Di dalam Alkitab tidak ada banyak ayat yang mengungkapkan ketritunggalan itu secara langsung. Kita mendengar perintah Yesus untuk membaptiskan di dalam nama Bapa, Anak, dan Roh Kudus; Rasul Paulus mengucapkan berkatnya sebagai "Kasih karunia Tuhan Yesus Kristus, dan kasih Allah, dan persekutuan Roh Kudus", yang secara lebih luas lagi disebutkan dalam ayat-ayat berikut ini:
* 1 Korintus 12:4-6,
"Ada rupa-rupa karunia, tetapi satu Roh. Dan ada rupa-rupa pelayanan, tetapi satu Tuhan. Dan ada berbagai-bagai perbuatan ajaib, tetapi Allah adalah satu yang mengerjakan semuanya dalam semua orang."
* Efesus 4:4-6,
"satu tubuh, dan satu Roh, sebagaimana kamu telah dipanggil kepada satu pengharapan yang terkandung dalam panggilanmu, satu Tuhan, satu iman, satu baptisan, satu Allah dan Bapa dari semua, Allah yang di atas semua dan oleh semua dan di dalam semua."
* 1 Petrus 1:1-2,
"Dari Petrus, rasul Yesus Kristus, kepada orang-orang pendatang, yang tersebar di Pontus, Galatia, Kapadokia, Asia Kecil dan Bitinia, yaitu orang-orang yang dipilih, sesuai dengan rencana Allah, Bapa kita, dan yang dikuduskan oleh Roh, supaya taat kepada Yesus Kristus dan menerima percikan darah-Nya. Kiranya kasih karunia dan damai sejahtera makin melimpah atas kamu."
* Yudas 20-21,
"Akan tetapi kamu, saudara-saudaraku yang kekasih, bangunlah dirimu sendiri di atas dasar imanmu yang paling suci dan berdoalah dalam Roh Kudus. Peliharalah dirimu demikian dalam kasih Allah sambil menantikan rahmat Tuhan kita, Yesus Kristus, untuk hidup yang kekal."
Akan tetapi secara tidak langsung ada banyak ayat di dalam Perjanjian Baru yang menunjuk kepada ketritunggalan itu.
Di dalam berita tentang kelahiran Yesus, malaikat berkata, bahwa anak Maria itu akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi, serta bahwa Roh Kudus akan turun atas Maria, serta kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaunginya. Pada waktu Yesus dibaptis, Roh Allah turun ke atas-Nya seperti burung merpati, dan bahwa Tuhan Allah berfirman, "Inilah Anak yang Kukasihi."
Selain dari itu, Yesus sendiri mengaku di hadapan Sanhedrin, bahwa Ia adalah Anak Allah. Di hadapan orang Yahudi, Ia menyebut Tuhan Allah Bapa-Nya, sedang orang lain menyebut Dia Anak Allah. Mengenai Roh Kudus disebutkan, bahwa Yesus akan mengutus Roh-Nya dari Bapa dan sebagainya.
Semua ayat ini, yang masih dapat ditambah lagi dengan banyak sekali, tidak boleh diabaikan begitu saja.
Di sepanjang sejarah Gereja telah timbul penafsiran-penafsiran gagasan tentang Tuhan Allah yang telah dicetuskan oleh Plato. Segala pernyataan ini harus dilihat di dalam terang yang menerangi hakekat Tuhan Allah, seperti yang telah diuraikan sebelumnya, yaitu di dalam semuanya itu Tuhan Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai sekutu umat-Nya di dalam firman dan karya-Nya.
Pada abad-abad yang pertama, Gereja yang masih muda itu dihadapkan dengan persoalan-persoalan sebagai berikut:
1. Pengakuan yang diambil-alih dari ajaran Yahudi, yaitu bahwa Tuhan Allah adalah esa.
2. Pengakuan bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan.
Oleh karena itu maka segeralah timbul persoalan, apakah dengan demikian orang Kristen tidak menyembah kepada Allah yang lebih dari satu?
Di sepanjang sejarah Gereja, tampaklah pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk merumuskan kepercayaannya yang mengenai Tuhan Allah. Di dalam pergumulan tadi dapat disaksikan bagaimana Gereja di satu pihak berusaha untuk menghindarkan diri dari bahaya "mempertahankan keesaan Allah dengan melepaskan ketritunggalannya", artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada ajaran bahwa Allah adalah esa, sehingga sebutan Bapa, Anak, dan Roh Kudus seolah-olah hanya dipandang sebagai sifat-sifat Allah saja. Di lain pihak dapat disaksikan pula, bagaimana Gereja bergumul untuk menghindarkan diri dari bahaya "mempertahankan ketritunggalan Allah dengan melepaskan keesaannya", artinya bahwa orang sedemikian menekankan kepada perbedaan di antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus, sehingga ketiganya itu seolah-olah berdiri sendiri-sendiri tanpa ada kesatuan.
Pada abad ketiga di Roma muncullah Praxeas yang mengajarkan bahwa Tuhan Allah adalah Roh. Sebagai Roh, Tuhan Allah disebut Bapa. Allah ini telah mengenakan daging atau menjadi manusia. Allah yang telah mengenakan daging ini disebut Anak. Di dalam diri Yesus Kristus, Bapa dan Anak menjadi satu, dalam arti demikian, bahwa sang manusia Yesus, yang daging adanya, adalah Anak, sedang Kristusnya, yang Roh adanya, adalah Bapa. Yang dilahirkan adalah Anak, yaitu sang manusia Yesus di dalam diri Juru Selamat. Sebenarnya Anak inilah yang menderita sengsara, sebab Allah Bapa, yang Roh adanya, tidak dapat menderita. Tetapi oleh karena Allah Bapa telah memasuki daging (Kristus memasuki Yesus) ia turut menderita juga. Ajaran ini disebut Patripassianisme, artinya, bahwa Bapa turut menderita sengsara. Di sini Praxeas membedakan antara daging (Anak) dan Roh (Bapa) di dalam diri Yesus Kristus. Sebenarnya, menurut Praxeas, Bapa dan Anak (Roh dan daging, atau Kristus dan Yesus) ini adalah Pribadi yang satu, yaitu Allah.
Dari uraian di atas jelas, bahwa Praxeas mempertahankan keesaan Allah. Tuhan Allah adalah satu. Bapa dan Anak adalah satu Pribadi, yaitu pribadi Tuhan Allah. Tetapi Praxeas melepaskan ketritunggalan atau di sini lebih tepat disebut kedwitunggalan. Sebutan Bapa dan Anak tidak menunjukkan perbedaan, kecuali sebagai Roh dan daging di dalam diri Juruselamat Yesus Kristus.
Gereja pada waktu itu menolak ajaran ini.
SABELLIUS :
Mempertahankan keesaan Tuhan Allah dan melepaskan ketritunggalan-Nya ini juga dilakukan oleh Sabellius (meninggal pada tahun 215). Ia mengajarkan, bahwa Tuhan Allah adalah esa. Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah modalitas atau cara menampakkan diri Tuhan Allah yang esa itu. Semula, yaitu di dalam Perjanjian Lama, Tuhan Allah menampakkan diri-Nya di dalam wajah atau modus Bapa, yaitu sebagai Pencipta dan Pemberi Hukum. Sesudah itu Tuhan Allah menampakkan diri-Nya di dalam wajah Anak, yaitu sebagai Juruselamat yang melepaskan umat-Nya, yang dimulai dari kelahiran Kristus hingga kenaikan-Nya ke surga. Akhirnya Tuhan Allah sejak hari Pentakosta menampakkan diri-Nya di dalam wajah Roh Kudus, yaitu sebagai Yang Menghidupkan. Jadi ketiga sebutan tadi adalah suatu urut-urutan penampakan Tuhan Allah di dalam sejarah.
Untuk menjelaskan pendapatnya itu Sabellius memakai gambaran matahari. Allah Bapa dapat diumpamakan dengan matahari dalam penampakannya, sedang Allah Anak adalah matahari dalam sinarnya, dan Allah Roh Kudus adalah matahari dalam kekuatannya menyinarkan panas. Ketritunggalan di sini dipandang sebagai ketritunggalan penampakan yang berganti-ganti atau bergiliran. Yang menampakkan diri adalah Tuhan Allah yang satu itu.
Pernah ada suatu keterangan mengenai ketritunggalan Allah, yang sama dengan keterangan Sabellius, yaitu ketritunggalan itu dapat diterangkan demikian: Bapak Presiden di tengah-tengah keluarganya menjadi kepala keluarga, di tengah-tengah angkatan bersenjata menjadi panglima tertinggi angkatan bersenjata, di tengah-tengah rakyat menjadi kepala negara. Orangnya satu, tetapi tampil dalam tiga wajah.
Demikianlah Sabellius juga mempertahankan keesaan Tuhan Allah, tetapi ketritunggalan-Nya dilepaskan. Bapa, Anak, dan Roh Kudus hanya sebutan saja bagi Allah yang satu itu.
Sebaliknya ada golongan ahli pikir Kristen pada waktu itu yang berusaha mempertahankan ketritunggalan Allah, tetapi melepaskan keesaan-Nya, artinya bahwa Allah Bapa, Allah Anak (atau Yesus Kristus) dan Roh Kudus dibedakan sedemikian rupa, hingga ketiganya berdiri sendiri-sendiri, tanpa kesatuan.
PAULUS DARI SAMOSATA
Hal ini umpamanya dilakukan oleh Paulus dari Samosata, yang meninggal pada tahun 260. Menurut Paulus, Tuhan Allah hanya dapat dipandang sebagai satu pribadi saja. Tetapi di dalam diri Allah dapat dibedakan antara Logos (Firman) dan Hikmat. Logos dapat disebut Anak, sedang Hikmat dapat disebut Roh. Logos bukanlah suatu pribadi, melainkan suatu kekuatan yang tidak berpribadi. Logos ini telah bekerja pada diri Musa dan para nabi di dalam Perjanjian Lama, selanjutnya Ia juga bekerja di dalam diri Yesus, anak Maria. Juruselamat Yesus Kristus adalah manusia, yang datangnya dari bawah. Akan tetapi padanya telah bekerja Logos atau Firman, yang datangnya dari atas. Logos atau Firman ini dapat juga disebut manusia batin dari Yesus, sang Juru Selamat itu. Kediaman Logos atau Firman di dalam diri Yesus Kristus sama dengan kediaman Hikmat atau Roh di dalam diri para nabi di Perjanjian Lama. Perbedaannya ialah, bahwa pada Yesus kediaman Hikmat atau Roh tadi mempunyai sifat yang khas:
Yesus Kristus adalah rumah Allah, yang didiami oleh Roh Allah atau Hikmat Allah dengan sempurna. Seperti halnya dengan dua oknum yang dapat memiliki kesatuan kegemaran dan kehendak, demikianlah halnya dengan Tuhan Allah dan Kristus. Kesatuan kegemaran dan kehendak yang demikian itu terjadi karena kasih. Karena kasih dan kehendak-Nya yang tidak berubah, maka Kristus dipersatukan dengan Tuhan Allah, sehingga Ia bukan hanya dapattidak berdosa, melainkan juga dapat mengalahkan dosa-dosa nenek moyang-Nya. Sebagai upah kasih-Nya yang demikian itu, ia dikaruniai nama yang di atas segala nama, dan mendapat hak untuk mengadili dan memiliki kehormatan Allah, Ia diangkat menjadi Anak Allah.
Demikianlah Paulus dari Samosata mempertahankan perbedaan antara Allah Bapa dan Yesus Kristus. Keduanya dipisahkan hingga berdiri sendiri-sendiri tanpa kesatuan. Ia mempertahankan ketritunggalan (atau di sini kedwitunggalan) dengan melepaskan keesaan-Nya.
ORIGENES
Hal yang demikian juga dilakukan oleh Origenes (meninggal tahun 254). Menurut Origenes, Tuhan Allah adalah satu atau esa, sebagai lawan dari segala yang banyak. Tuhan ini menjadi sebab segala sesuatu yang berada. Dengan perantaraan Logos atau Firman, Tuhan Allah, yang Roh adanya itu, berhubungan dengan dunia benda. Logos ini berdiri sendiri sebagai suatu zat, yang memiliki kesadaran ilahi dan asas-asas duniawi. Ia adalah gambaran Allah yang sempurna. Sejak kekal ia dilahirkan dari Allah. Karena kekuasaan kehendak ilahi ia terus-menerus dilahirkan dari zat ilahi. Ia memiliki tabiat yang sama dengan Allah, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa Ia satu dengan Allah, akan tetapi sebagai yang keluar dari Allah Bapa, Ia lebih rendah daripada Allah Bapa. Ia adalah pangkat pertama dari perpindahan dari Yang Esa kepada Yang Banyak, atau pangkat kedua di dalam zat Allah.
Aktivitas Logos atau Anak ini juga lebih rendah dibanding dengan aktivitas Bapa. Ia adalah pelaksana kehendak Allah Bapa, yang melaksanakan instruksiAllah Bapa, sebagai umpamanya penjadian.
Roh Kudus dianggapnya juga sebagai zat yang ada pada Allah, yaitu pangkat ketiga di dalam zat Allah itu. Roh Kudus ini adanya karena Anak. Hubungannya dengan Anak sama dengan hubungan Anak dengan Bapa. Bidang kerja-Nya juga lebih sempit dibanding dengan bidang kerja Anak. Bapa adalah asas beradanya segala sesuatu, sedang Roh Kudus adalah asas penyucian segala sesuatu.
Jadi ketritunggalan Allah dipandang sebagai berpangkat-pangkat. Oleh karena itu ajaran ini disebut subordinasianisme. Di sini perbedaan di antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus dipertahankan, akan tetapi kesatuannya ditiadakan.
Demikianlah secara singkat pergumulan Gereja yang masih muda itu untuk merumuskan ajarannya mengenai penyataan Tuhan Allah sebagai Bapa, Anak, dan Roh Kudus.
Di Konsili di Nikea (325) Gereja menentukan syahadatnya untuk mempertahankan ketritunggalan di dalam keesaan dan keesaan di dalam ketritunggalan. Bunyi syahadat itu demikian:
"Aku percaya kepada satu Allah, Bapa yang mahakuasa, Pencipta langit dan bumi, segala yang kehilatan yang tidak kelihatan. Dan kepada satu Tuhan, Yesus Kristus, Anak Allah yang Tunggal, yang lahir dari Sang Bapa sebelum ada segala zaman, Allah dari Allah, terang dari terang, Allah sejati dari Allah sejati, diperanakkan, bukan dibuat, sehakekat dengan Sang Bapa .... dan seterusnya. Aku percaya kepada Roh Kudus, yang jadi Tuhan dan yang menghidupkan, yang keluar dari Sang Bapa dan Sang Anak .... dan seterusnya.
Dari perumusan ini jelas, bahwa dengan tegas diajarkan tentang Allah Tritunggal, Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus, yang bersama-sama disembah dan dimuliakan.
Perlu diperhatikan, bahwa Gereja di sini mengakui Allah Tritunggal, akan tetapi tidak memberi penjelasan secara teologis.
TERTULIANUS
Orang yang besar sekali pengaruhnya bagi perumusan ajaran Tritunggal ini adalah Tertullianus (120 – 225). Darinyalah istilah substansi atau zat danpersona atau pribadi dikenakan kepada ajaran Tritunggal. Ia merumuskan, bahwa Tuhan Allah adalah satu di dalam substansi-Nya atau Dzat-Nya dan tiga di dalam persona-Nya atau pribadi-Nya atau oknum-Nya (una substantia, tres personae).
Tertullianus sendiri mengajarkan demikian: Tuhan Allah memiliki pada diri-Nya akal atau budi. Budi ini dilahirkan atau dikeluarkan di dalam Firman atauLogos-Nya pada waktu penjadian alam semesta. Jadi Firman atau Logos itu keluar atau dilahirkan dari budi, seperti batang pohon keluar dari akarnya, atau seperti sungai keluar dari sumbernya, atau sebagai sinar keluar dari matahari. Oleh karena itu, maka Firman atau Logos tadi disebut Anak. Mula-mula Roh Kudus adalah satu dengan Firman, tidak terpisah dari Firman atau Logos, juga pada waktu Logos atau Firman menjadi manusia dan menderita sengsara. Baru setelah Kristus ditinggikan, Roh itu keluar dari Bapa dan Anak. Keluarnya Roh Kudus dari anak sama dengan keluarnya buah dari batang pohonnya, atau seperti arus keluar dari sungai, atau seperti berkas sinar keluar dari sinar. Jadi hubungan antara Bapa, Anak, dan Roh Kudus digambarkan seperti hubungan: akar – batang – buah, atau sumber – sungai- arus, atau matahari – sinar – berkas sinar. Bapa, Anak, dan Roh Kudus memiliki satusubstansi, sedang mereka adalah tiga persona atau pribadi atau oknum. Adapun yang dimaksud dengan substansi oleh Tertullianus adalah apa yang berada secara kongkrit (sebagai umpamanya: batu, tanah, dan sebagainya), dan yang dimaksud dengan persona adalah yang menjadi subyek.
Sekalipun Gereja pada waktu itu tidak menerima ajaran Tertullianus, akan tetapi perumusannya tentang adanya satu substansi dan tiga personamempengaruhi pemikiran-pemikiran Gereja dari zaman sesudah Tertullianus. Di sepanjang sejarah Gereja, perumusan ini telah menimbulkan salah paham yang banyak sekali. Hal ini, demikian banyak teolog berpendapat, disebabkan oleh istilah-istilah yang dipergunakan di dalam bahasa Latin dan Yunani bagi pengertian-pengertian substansi dan persona tidaklah tepat, terlebih-lebih yang mengenai pengertian persona atau pribadi, atau oknum. Akan tetapi, salah paham itu terlebih-lebih disebabkan oleh pengungkapan-pengungkapan itu didasarkan atas pandangan Plato yang mengenai tabiat ilahi atau ketuhanan seperti yang telah diuraikan di atas.
Dalam abad-abad sesudah Konsili di Nikea itu, pergumulan tentang perumusan Tritunggal masih belum memuaskan segala pihak.
AGUSTINUS
Augustinus umpamanya, merumuskan ketritunggal itu demikian, bahwa hubungan Bapa, Anak, dan Roh Kudus di dalam zat ilahi adalah sebagai ingatan, akal, dan kehendak, atau sebagai yang mengasihi, sasaran kasih dan kasih. Roh bukan hanya suatu fungsi, melainkan suatu tindakan kasih, ikatan yang menghubungkan Bapa dan Anak.
THOMAS AQUINAS
Thomas Aquinas mengatakan, bahwa Bapa, Anak, dan Roh Kudus adalah cara berada ilahi yang berdiri sendiri. Jadi yang dimaksud dengan persona adalah cara berada.
JOHN CALVIN
Calvin menerangkan persona sebagai suatu hal yang berdiri sendiri di dalam kehidupan ilahi, yang satunya dibedakan dengan yang lain, karena sifat-sifat ilahi yang khas ilahi semata-mata.
Demikianlah ada perumusan yang bermacam-macam mengenai ketritunggalan tadi.
SUBSTANSI & PERSONA ALLAH TRITUNGGAL
Kata substansi adalah ousia di dalam bahasa Yunani, sedang kata persona adalah hupostasis atau hypostasis. Yang dimaksud Tertullianus dengansubstansi adalah apa yang berada secara kongkrit, sedang yang dimaksud dengan persona adalah apa yang menjadi subyek.
Di dalam bahasa Yunani yang disebut dengan ousia ialah apa yang membedakan satu macam atau satu rumpun dengan macam atau rumpun yang lain, serta yang memberi ciri khas kepada macam atau rumpun itu. Umpamanya: rumpun mangga; ousia mangga adalah ciri-cirinya yang membedakan rumpun ini dengan rumpun yang lain (umpamanya: jambu) dan ciri-ciri yang khas pada mangga yang menjadikan mangga berbeda dengan jambu. Ousia atau substansimanusia, atau juga disebut zat atau hakekat manusia, adalah apa yang membedakan manusia daripada binatang dan daripada tumbuh-tumbuhan serta daripada Allah, pendeknya: yang menjadikan manusia disebut manusia, bukan binatang atau tumbuh-tumbuhan atau Allah. Demikian juga halnya dengan ousia atau substansi Allah, ialah apa yang membedakan Allah dari manusia dan makhluk-makhluk yang lain yang oleh Plato disebut tabiat ilahi atau ketuhanan, yang harus dibedakan dengan tabiat insani atau kemanusiaan.
Yang dimaksud dengan hypostasis atau persona adalah apa yang membedakan satu individu dari individu yang lain, serta yang membedakan ciri khas kepada individu itu di dalam satu rumpun atau satu macam, umpamanya: buah jeruk ada bermacam-macam, ada jeruk keprok, jeruk pecel, dan sebagainya. Semuanya itu termasuk rumpun jeruk, akan tetapi yang sebuah berbeda dengan yang lain. (Atau juga jeruk pada satu pohon, yang sebuah berbeda dengan yang lain).
Diterapkan kepada Tuhan Allah, hal itu diterangkan sebagai berikut, bahwa Bapa, Anak, Roh Kudus adalah tiga hypostasis di dalam satu ousia atau tigapersona di dalam satu substansi, atau tiga oknum di dalam satu Dzat.
Sejak abad ke-18 pengertian persona atau oknum telah dianggap sebagai suatu kekuatan yang berdiri sendiri dengan secara sadar, atau suatu swadaya yang sadar, yang dengan kekuatan kesusilaannya mempertahankan diri terhadap kekuatan-kekuatan yang tidak berpribadi di sekitarnya. Sejak abad ke-18 ini sebenarnya pengertian persona atau oknum telah tidak mungkin lagi diterapkan guna mengungkapkan pengertian Alkitab yang mengenai Bapa, Anak dan Roh Kudus. Sebab memang bukan pengertian yang seperti itulah yang dimaksud oleh Gereja kuno ketika merumuskan ajarannya tentang ketritunggalan Allah. Oleh karena itu maka banyak para ahli teologia sekarang yang menerjemahkan ungkapan υποστασις – HUPOSTASIS atau personabukan dengan oknum, melainkan dengan cara berada (seinsweise atau mode of existence) , sehingga ketritunggalan dirumuskan demikian: Allah adalah satu di dalam substansi-Nya, tetapi memiliki tiga cara berada.
Cara menerangkan ini juga masih kabur, karena masih terlalu dipengaruhi oleh gagasan Plato mengenai adanya suatu tabiat ilahi atau ketuhanan tadi.
Shalom, pada awalnya iman Kristen itu mengikuti iman Yahudi, yaitu sama sama mengakui keesaan Yahweh sebagai Tuhan yang benar dan selayaknya disembah. Moshe/Musa pernah menjabarkan pernyataan tentang keesaan Yahweh itu dalam Devarim/Ulangan 6: 4 yang dalam bahasa Ibraninya berbunyi " Shema Yisrael Yahweh Eloheinu Yahweh Ekhad ", dimana ayat ini juga pernah dikutip oleh Yeshua/Yesus sendiri Markus 12 : 29 ketika ditanya oleh seorang ahli Torah/Taurat. Inilah perbedaan orang Israel dan bangsa bangsa lain di sekeliling mereka pada saat itu. Pernyataan Shema mengungkapkan bahwa orang Israel percaya akan satu Tuhan yang benar dan bahwa tidak ada lagi tuhan - tuhan yang lain yang oleh bangsa bangsa lain itu sebutkan dengan nama Baal, Molokh, Milkom, Asyera, Asytoret, Dagon dan berbagai macam nama lainnya. Tritunggal pun sebenarnya bukan hal baru dalam konteks pemikiran Yahudi, yang kemudian coba diadopsi oleh agama Kristen menjadi suatu doktrin tersendiri. Ini dapat ditemukan dalam ajaran esoteriknya yang dinamakan Kabbalah. Yahweh memiliki tiga substantif tetapi merupakan satu kesatuan. Maka nama Elohim yang ada di ayat ayat awal kitab Bereshit /Kejadian juga menyiratkan kemajemukanNya. Tuhan itu kekal dan disebut dengan istilah Ein Sof yang artinya tidak terdefinisi. Maka untuk dapat menjelaskan keberadaanNya yang kekal itu, dikembangkanlah konsep Sefirot atau pancaran keilahian yang berjumlah sepuluh, yang kemudian terdistribusikan ke dalam tiga aspek pribadi yaitu Bapa, Anak, dan Ibu. Jika dibandingkan dengan tritunggal Kristen, maka akan terlihat persamaan dan perbedaannya. Dalam paham Ibrani, Roh Kudus/ Ruach haKodesh itu mewakili aspek feminin atau keibuan.
ReplyDelete