HELL and his life.....

YESAYA26:9: "Jiwaku merindukan Engkau pada waktu malam, aku mencari Engkau dengan segenap hati, apabila Engkau menghakimi bumi kelak, penduduknya akan mengetahui makna keadilan"

Wednesday, April 25, 2012

ROMA 12:1-2 PERSEMBAHAN YANG BENAR

Roma 12:1-2 merupakan nasehat-nasehat khusus, di dalamnya kita seakan-akan menemukan' garis merah' kehidupan Kristen. Yaitu etika Kristen dalam kehidupan seorang Kristen yang merupakan sambutan atas kemurahan Allah terhadap dirinya:

* Roma 12:1-2
12:1 LAI TB, Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati.


12:2 LAI TB, Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Ayat 1:

Ajakan dan ajaran Paulus mengenai kehidupan Kristen dibukanya dengan berkata: "saudara-saudara... aku menasihatkan kamu ..." Kata-kata pembukaan yang sama kita temukan pula dalam 1 Korintus 1:10; 2 Korintus 10:1; Efesus 4:1, dll. Sapaan 'saudara-saudara' biasa dipakai Paulus bila ia mulai membicarakan perkara yang dianggapnya penting (bandingkan Roma 10:1; 11:25; 15:30). Menyusullah isi nasihat Paulus: supaya kamu mempersembahkan tubuhmu. Perkataan Yunani paristēmi berkaitan dengan suasana lingkungan istana: menyediakan, mengabdikan kepada raja. Di ayat ini paristēmi merupakan istilah peribadatan dari lingkungan bait Allah: mempersembahkan (kurban). Artinya itu ditegaskan oleh pemakaian 'persembahan' (kurban).

Yang harus dipersembahkan kepada Allah itu ialah tubuhmu. Yang dimaksud tentu bukan bahwa orang percaya harus menyerahkan tubuhnya untuk dibunuh, sebagaimana kadang-kadang terjadi dalam lingkungan agama lain. Bukanjuga bahwa mereka wajib menyiksa diri supaya bertambah suci. Atau bahwa mereka, pada masa gereja mengalami penindasan dari pihak pemerintahan, harus mengadukan diri kepada pihak berwajib sebagai orang Kristen agar dengan demikian memperoleh kedudukan martir. Memang apakah yang dapat orang lakukan seandainya tidak punya tubuh? Untuk berbicara ia butuh mulut. Untuk mendengar orang lain bicara, telinga. Untuk melihat, mata. Untuk berpikir, otak. Dan seterusnya.

Maka inilah yang hendak Paulus katakan di sini. Seluruh pikiran, perkataan, dan perbuatan, pokoknya seluruh kemampuan dan kegiatan kita, harus dipersembahkan kepada Tuhan. Hal itu membawa kita pada beberapa pertimbangan:
Pertama, bahwa 'mempersembahkan' berarti penyerahan total. Kita tak dapat menyisihkan sebagian untuk dipegang sendiri atau diserahkan kepada pihak lain (bandingkan Kisah 5:1 dyb.). Pun, kurban itu harus bersifat sempurna (bandingkan kata-kata 'tidak bercela' yang berkali-kali dipakai dalam Kitab Imamat).
Kedua, bahwa selain 'tubuh' itu tak ada kurban lain yang harus dipersembahkan orang Kristen. Dalam dunia abad pertama Masehi. orang membawa berbagai kurban. Orang Kristen tidak dapat lagi turut membawanya. Kalau kurban agama kafir, mereka tak dapat turut lagi karena ilah-ilah kafir bukan ilah, melainkan kesiasiaan (1 Korintus 8:4-6). Dan kalau ibadah dalam bait Allah di Yerusalem, bagi orang Kristen ibadah itu pada asasnya sudah tidak berlaku. Karena Allah sendiri telah menyediakan kurban yang mencegah murka-Nya, yaitu Kristus, dan kurban itu, yaitu kematian Kristus, sudah cukup untuk selama-lamanya. Persembahan itu sudah tidak diperlukan lagi (lihat artikel Propisiasi – Penebusan, di propisiasi-penebusan-vt1472.html#p5231 ).

Maka, bukanpemberian kita yang Tuhan kehendaki, tetapi Dia menghendaki kita sendiri. Oleh karena itu juga persembahan itu disebut persembahan hidup.
Perkataan hidup Itu dipakai bukan karena kita sendiri memang hidup, bertentangan dengan hewan kurban yang mati. (Hewan yang diserahkan untuk.menjadi milik Tuhan, lalu disembelih memang masih hidup juga.) Tetapi perkataan 'hidup' dipakai di sini dengan arti yang sama seperti mlsalnya dalam Roma 6:4: 'yang hidup dalam hidup yang baru'. Hidup yang baru Itu dibangkitkan oleh Roh Kudus (Roma 8:11). Dan karena orang percaya hidup bagi Allah, mereka 'telah mati bagi dosa' (Roma 6:11). Jadi, 'persembahan yang hidup' adalah penyerahan diri kita untuk menempuh kehidupan baru, yang menjauhi dosa dan menentang kuasa dosa itu.

Persembahan itu disebut juga kudus. Dengan demikian diungkapkan bahwa 'tubuh (= kehidupan) kita bukan lagi milik kita sendiri. Sebab 'mempersembahkan kurban' berarti kurban itu diserahkan menjadi milik Allah (atau dalam agama lain: dewa). Kalau misalnya dalam PL orang makan daging persembahan (bandingkan misalnya Imamat 10:12 dyb.), orang tidak menganggap daging itu sebagai miliknya sendiri. Sebaliknya, perjamuan itu merupakan persekutuan dengan Tuhan, sedangkan manusia seakan menjadi tamu-Nya. Maka, kalau orang percaya 'mempersembahkan tubuhnya' kepada Allah, hal itu berarti bahwa seluruh kehidupan mereka adalah milik Tuhan. Untuk seterusnya mereka harus minta kepada-Nya apa kehendak-Nya mengenai kehidupan mereka. Dengan demikian perkataan ' kudus' itu mencakup pula arti ' suci'. Maka kekudusan (kesucian) itu bukan bahan jadi, yang kita peroleh dan untuk seterusnya kita miliki. Di tempat lain, Paulus memakai pula istilah hagios (kudus). Seorang Kristen harus berupaya terus hidup semakin sesuai dengan kehendak Dia yang menjadi pemiliknya, tuannya. Dengan demikian juga persembahannya menjadi berkenan kepada Allah. Hal serupa dikatakan pula dalam Roma 14:18; 2 Korintus 5:9 dan lain-lain tempat.

Akhirnya Paulus menulis: "itu adalah ibadahmu yang sejati." Dalam bahasa Yunani: logike latreia. Kata λατρεια - latreia dalam bahasa Yunani umum berarti 'pengabdian', dan kalau dipakai dalam hubungan dengan dewa-dewa bermakna "ibadah'.
"Ibadah" dalam arti seluas itu juga dimiliki istilah Ibrani yang dalam Perjanjian Lama (PL) berbahasa Yunani diterjemahkan dengan latreia, yaitu עֲבֹדָה - 'ABODAH (yang serumpun dengan bahasa Arab yang kemudian diserap dalam bahasa Indonesia 'ibadah'). Maka apa yang dikatakan Paulus di sini berakar dalam Perjanjian Lama. Di sana pun 'Ibadah dalam arti khusus (ibadah dalam bait Allah) tidak dapat dilepaskan dari 'ibadah' dalam arti umum (ketaatan dalam seluruh kehidupan). Demikian halnya dari sudut bahasa: "'ABODAH serumpun dengan עָבַד - 'ABAD, 'mengabdi'. Demikian pula dari sudut isinya: dalam hukum Taurat dan Kitab-kitab para Nabi ibadah dalam bait Allah merupakan titik pusat ibadah dalam arti umum, yaitu ketaatan pada perintah-perintah Tuhan dan pengabdian kepada-Nya. Dalam Perjanjian Baru ibadah dalam bait Allah tidak ada lagi. Yang tinggal justru ketaatan dan pengabdian itu. Itulah persembahan hidup dan kudus' yang dipersembahkan orang percaya.

"Yang sejati" diterjemahkan dari kata Yunani λογικος – logikos, ini tidak terdapat dalam PL bahasa Yunani. Dalam PB, selain di sini.kita hanya menemukannya dalam 1 Petrus 2:2. Di sana artinya agak dekat dengan πνευματικος – pneumatikos, 'rohani'.

Catatan :
Dalam bahasa Yunani λογικος – logikos merupakan istilah filsafat. Arti harfiahnya 'sesuai akal budi. Tetapi khususnya dalam aliran Stoa, logikos berarti 'apa yang sesual dengan kodrat alam semesta', yaitu dengan sang Logos yang menjiwai dan mengatur alam semesta itu. Logos ilahi itu hadir pula dalam diri manusia. Maka jika manusia membiarkan Logos itu mengendalikan kehidupan dirinya, hidupnya logikos. yaitu sesuai dengan logos yang menguasai alam semesta.

Dalam mistik helenistis logikos mendapat arti 'batiniah' sesuai dengan kodrat rohani manusia, sehingga menjadi lawan 'lahirlah' (yang lahiriah ialah persembahan kurban. upacara upacara dsb.). Dalam lingkungan mistik itu dipakai istilah logikê thusia, 'persembahan budiman'. Penulis Yahudi Philo menerima arti itu dan mempertentangkan sikap logikos dengan sikap yang hanya mementingkan persembahan lahiriah. Namun demikian janganlah mengaitkan bahwa Paulus sedang mengajarkan sesuatu hal yang bersifat helenistis sebagaimana Philo dalam tulisan-tulisannya. Philo, meskipun beberapa karyanya bersifat theologis, namun ada banyak pemikiran-pemikirannya tercampur dengan helenisme yang tidak dapat diterima kalangan Yahudi. Yang menjadi pusat dalam pengertiannya, baik tentang alam semesta maupun tentang pengalaman agama ialah pikiran tentang λογος – "LOGOS" (kata, firman, kalam, logika), suatu istilah yang berasal dari golongan Stoiki.

Pengertian λογος – "LOGOS" dalam Kristianitas (misalnya dalam Yohanes 1:1, dan tulisan Rasul Paulus ini) berbeda dengan pola pikir helenistis. Rasul Yohanes, penulis Injil, datang kepada orang Yunani dan mengatakan: "Selama berabad-abad kalian telah berpikir, menulis, dan bermimpi tentang 'logos', yaitu kekuatan yang telah menjadikan dunia, dan menjaga keteraturan dunia; kekuatan yang dipakai oleh manusia untuk berpikir, menalar dan mengetahui sesuatu; kekuatan yang dipakai manusia untuk berhubungan dengan Allah. Yesus Kristus adalah 'logos' tersebut, yang datang ke bumi, 'logos' itu telah menjadi daging." Dengan perkataan lain, "pikiran Allah telah menjadi seorang pribadi." Kepada orang-orang Yahudi dan Yunani itu, Rasul Yohanes memberitahukan, bahwa pikiran Allah yang menopang, mengendalikan, memberikan terang dan menciptakan itu telah datang ke bumi di dalam Yesus Kristus. Ia memberitahu mereka, bahwa manusia tidak perlu lagi menduga dan meraba-raba; yang mereka perlu lakukan hanyalah melihat kepada Yesus Kristus, dan dengan demikian mereka dapat melihat pikiran Allah.
Kembali kepada istilah logikos dalam ayat 1 ini. Sekarang, kita dapat bertanya: apakah logikos di sini memang mengandung arti khusus 'batiniah', 'rohani'? Istilah logikos muncul juga dalam 1 Petrus 2:2. Di situ logikos agaknya berkaitan dengan λογος – logos (firman) dalam 1 :23 dan 2:8, sehingga menyandang arti 'sesuai dengan firman'. Begitu juga di sini bila menentukan arti logikos kita harus memperhitungkan dekatnya perkataan 'tubuh'. Agak ganjil kalau Paulus memakai istilah logikos, dalam arti 'batiniah', kalau baru saja ia anjurkan kepada orang percaya agar mereka menyerahkan tubuhnya sebagai persembahan yang hidup dan seterusnya. Anjuran itu sama sekali bertentangan dengan ajaran Stoa, yang justru mengajak orang bersikap acuh-tak-acuh terhadap segala hal jasmani dan menjadikan batin sebagai benteng pertahanannya. Karena itu juga, ayat 12:1b ini tidak boleh kita anggap sebagai penolakan segala macam upacara dalam bentuk apa pun. Pertentangan yang ditandai oleh istilah logikos bukan: 'lahir-batin', atau 'upacara ibadah-kehidupan sehari-hari' , melainkan: 'sesuai dengan kehendak Allah-tidak sesuai dengan kehendak Allah' ('hidup', 'kudus'!). Maka sebaiknya di sini kita memilih terjemahan yang sesuai dengan arti umum tersebut tadi bahwa logikos ini bermakna 'sejati' (LAI).


Ayat 2:

'Persembahan tubuh' dan' ibadah' yang disebut dalam ayat 1 memiliki segi negatif dan segi positif. Segi negatifnya ialah orang Kristen tidak boleh lagi membiarkan pola hidup mereka ditentukan oleh dunia. Menurut terjemahan harfiah: 'jangan lagi biarkan dirimu menjadi sepola dengan dunia ini'. 'Dunia' merupakan terjemahan αιων – aiôn (lihat artikel study kata di aion-abad-atau-dunia-studi-kata-dari-perjanjian-baru-yuna-vt160.html#p337 ), bandingkan 'eon' dalam Kamus Besar. Artinya 'masa yang sangat panjang', 'masa hidup dunia'; dari situ 'dunia', bandingkan misalnya 1 Korintus 1:20 dan 2:6. Tetapi dalam Alkitab kita menemukan pula pandangan yang berakar dalam apokaliptik Yahudi, yaitu bahwa ada dua 'eon'. Eon yang satu sedang berlangsung sekarang, yang lain akan datang. Yang satu dikuasai dosa, kerusakan, kematian; yang lain ditandai oleh kesempurnaan, kehidupan. Dalam Roma 12:2 ini tambahan ini menunjukkan bahwa 'eon' dipakai dengan arti tersebut terakhir. Maka kita dapat saja memakai terjemahan 'dunia', asal istilah 'dunia' mengandung arti 'dunia yang dikuasai dosa dan ketidaksempurnaan'. Di sini kita hadapi pertentangan yang sama seperti dalam Roma 5:12-21, yaitu antara zaman dosa berkuasa den.gan zaman kasih karunia berkuasa. Jadi, kata-kata janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini tidak boleh ditafsirkan seakan-akan orang percaya diajak menjauhi dunia. dalam arti kenyataan jasmani Yang dimaksud di sini bukanlah anjuran beraskese (bertapa). Sekali lagi, tafsiran semacam itu dicegah oleh dekatnya perkataan 'tubuh' dalam ayat 1.

Dilihat dari segi positif, anjuran Paulus berbunyi: 'berubahlah oleh pembaharuan budimu'. Atau, menurut terjemahan yang mungkin lebih tepat, 'biarlah rupamu diubah terus' 'Rupa' itu bukan hanya segi manusia yang lahiriah. Sebagaimana tampak dalarn Filipi 3:21, baik 'pola' maupun 'rupa' bagi Paulus menganjung pengertian: wujud, yang menunjukkan hakikat Maka perubahan yang diharapkan dari orang percaya Itu bukan hanya perkara lahiriah saja. Yang diharapkan ialah perubahan hati. yang terwujud dalam seluruh kehidupan.

Perubahan itu berlangsung oleh pembaharuan budimu. Perkataan Yunani νους – nous, yang di sini diberi terjemahan 'budi', muncul juga dalam Roma 1:28, dalam 7:23 dan 25, dan haru saja dalam 11:34. Di situ LAI memakai terjemahan 'pikiran' atau 'akal budi'. Agaknya di sini 'budi' dipilih karena dalam hubungan ini artinya memang perubahan kelakuan manusia. bukan perubahan pikirannya saja, Yang dimaksud ialah pusat kemauan kita, yang mengambil keputusan-keputusan yang menentukan tindakan kita (bandingkan Amsal 4:23). Pusat itu perlu dibarui. Telah kita lihat bahwa pembaruan hidup dikerjakan oleh Roh Kudus (7:6; 8:4). Namun, di sini manusia sendiri juga diajak membarui diri.

Bagian kedua ayat ini menyebut hasil pembaruan budi. Tujuannya ialah sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah. Kata kerja Yunani dokimazein berarti: memeriksa, menguji. Ternyata kehendak Allah tidak dengan sendirinya jelas, karena dua alasan:
Pertama, karena dalam kehidupan sehari-hari seorang Kristen dihadapkan dengan berbagai keadaan. Sering sulit baginya untuk begitu saja menentukan sikapnya. Apalagi pada masa kini, dengan perkembangan teknologi yang cepat di berbagai bidang, orang Kristen tidak begitu saja dapat menentukan apakah la boleh menggunakan anekaragam sarana mutakhir. Kita dapat membayangkan perkembangan di bidang medis, atau di bidang teknologi nuklir (masih terlepas dari soal persenjataan). Dalam semua hal itu diperlukan penimbangan matang sebelum kita dapat menentukan (itu pun dengan hati-hatil) manakah kehendak Allah.
Kedua, kita diajak mengusahakan 'budi' kita dalam mencari kehendak Allah, karena Alkitab bukanlah kitab hukum. Alkitab tidak menyajikan kepada kita seperangkat peraturan yang menunjuk jalan kepada orang Kristen sekaligus mengikat mereka. Sebab Injil tidak merupakan hukum yang haru, tetapi justru memberi kita kebebasan anak-anak Allah (Roma 8:15,21).

Kita mencatat lagi bahwa anjuran ini diarahkan oleh Paulus kepada setiap anggota jemaat di Roma (bandingkan ayat 3). Jadi, kita boleh menganggapnya diarahkan kepada setiap orang Kristen. Bukan pendeta, atau penatua, atau sinode, atau uskup, yang harus menentukan 'manakah kehendak Allah' , lalu menurunkan keputusannya ke jemaat. Anggota-anggota jemaat tidak boleh malas menunggu petunjuk 'dari atas'. Setiap orang percaya dipanggil dan diperbolehkan mempertimbangkan sendiri kehendak Allah.

Hanya, dengan demikian kita tidak boleh mengabaikan seginya yang lain, yaitu bahwa anjuran ini diarahkan oleh Paulus kepada setiap anggota jemaat di Roma. Orang-orang Kristen bukan individu-individu yang hidup sendiri-sendiri. Mereka merupakan satu tubuh (ayat 4!). Maka dalam mencari kehendak Allah pun mereka akan berkumpul, dan saling meminta nasihat. Itulah juga antara lain makna sidang majelis dan sidang sinode. Tinggal kita tafsirkan tiga kata yang dipakai Paulus umuk merinci kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna. Mungkin kita anggap luapan kata-kata ini agak berlebihan. Tetapi agaknya dalam jemaat Roma ada yang cenderung mengutamakan kebebasan orang percaya tersebut di alas begitu rupa, sehingga mereka tidak mau lagi terikat pada aturan aturan bagi kelakuan mereka Berhadapan dengan orang seperti itu perlu dipentingkan bahwa melakukan kehendak Allah adalah melakukan 'yang baik'. Dari Galatia 6:10 dan I Tesalonika 5: 15 kita tahu bahwa 'yang baik ' itu ialah perbuatan yang sederhana dan sangat konkret: menolong orang yang berkebutuhan, mengampuni mereka yang bersalah kepada kita. Dalam ayat 9 dyb. Paulus merinci lagi apa 'yang baik' itu.

Dengan menambahkan yang berkenan kepada Allah, Paulus menjelaskan sekali lagi apa itu 'yang baik'. Yang baik itu bukanlah asas abstrak, tetapi menyatakan diri dalam pergaulan antara seorang percaya dengan Allah. Pergaulan itu menuntut pengabdian sepenuhnya. Itulah makna kata-kata yang sempurna. Sebagaimana dikatakan dalam Markus 12:30-31 "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu .... Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri...." Perkataan 'sempurna' ini menentukan arti 'yang baik' dan juga arti 'yang berkenan'. Yang baik dan berkenan itu bukanlah sesuatu yang dapat kita jangkau, yang dapat kita anggap telah terlaksana (bandingkan Matius 5:48). Sebaliknya kesempurnaanNya merupakan tujuan yang selalu harus kita kerjar.


Kesimpulan :

Roma 12:1-2 menggunakan istilah yang dipakai dalam Perjanjian Lama (PL), dan mengingatkan kita bahwa orang-orang percaya Yahudi mempersembahkan sesuatu kepada Tuhan di dalam peribadatan mereka. Tetapi kita, orang-orang Kristen, sebaliknya daripada mempersembahkan sesuatu di luar diri kita, harus mempersembahkan tubuh kita sendiri kepada Allah sebagai Kurban yang hidup, kudus dan yang berkenan (pantas). Yang dimaksudkan adalah sesuatu pelayanan rohani yang melibatkan seluruh kemampuan nalar kita yang sejati (logikos). Karena termasuk dalam pengabdian kita, maka orang-orang percaya harus berhenti menjadi serupa dengan dunia ini dan membiarkan diri kita berubah oleh pembaharuan budi kita (νους – nous). Pembaharuan dan perubahan semacam ini harus kita buktikan dengan menyelidiki kehendak Allah yaitu mana yang baik dan yang berkenan kepada Allah yang sempurna.


Amin.

No comments:

Post a Comment